Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Korea Selatan vs Indonesia: Dua Jalan Berbeda, Dua Nasib Ekonomi

Selasa, 23 September 2025 | Selasa, September 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-23T06:59:25Z


CNEWS, JAKARTA  -- Dari Titik Awal yang Sama. Pada tahun 1970, Indonesia dan Korea Selatan memulai dari garis yang hampir sejajar. Kedua negara dipimpin oleh jenderal yang baru mengonsolidasikan kekuasaan: Jenderal Soeharto di Indonesia dan Jenderal Park Chung Hee di Korea Selatan.


Keduanya saat itu sama-sama negara berpendapatan rendah, berangkat dari masyarakat agraris, serta baru saja keluar dari turbulensi politik. Namun setelah lebih dari setengah abad, hasilnya sangat kontras:


  • Korea Selatan menjadi negara industri maju dengan pendapatan per kapita 2023 di atas US$35.000.
  • Indonesia masih terjebak di level US$4.000–5.000 per kapita, kategori middle income country.

Korea Selatan: Insentif dengan Disiplin dan Inovasi

Park Chung Hee merancang strategi pembangunan berbasis insentif yang ketat. Dukungan negara diberikan kepada konglomerasi industri (chaebol), namun disertai syarat keras:


  • Harus mencapai target ekspor manufaktur.
  • Harus berbasis inovasi dan teknologi baru.
  • Harus memperluas pasar global, bukan sekadar melayani pasar domestik.


Hasilnya terlihat jelas:

  • Samsung menguasai 20% pangsa pasar ponsel dunia.
  • Samsung–LG menguasai 44,3% pasar smart TV global, menggeser dominasi Sony Jepang (5,4%).
  • Hyundai dan Kia menjadi pemain besar otomotif dunia.
  • K-Pop, drama Korea, dan film menembus pasar global hingga Hollywood.


Pada 2024, pendapatan lima chaebol terbesar Korsel mencapai Rp9.180 triliun, dengan 78% berasal dari ekspor.


Transformasi ini menjadikan Korea Selatan dari negara agraris miskin menjadi negara industri maju berteknologi tinggi, dengan daya saing global yang konsisten.


Indonesia: Insentif Tanpa Inovasi, Ekonomi Pemburu Rente


Indonesia memilih jalan berbeda. Insentif negara berupa konsesi SDA, kredit murah, lisensi perbankan, monopoli dagang, dan akses politik, diberikan berdasarkan kedekatan dengan penguasa, bukan kinerja.


Model ini membentuk ekonomi patron–client atau rent-seeking economy—sebagaimana dijelaskan Gordon Tullock (1967) dan Anne Krueger (1974).


Ciri-ciri ekonomi rente di Indonesia:

  1. Modal diekspor ke luar negeri lewat transfer pricing.
  2. Keuntungan SDA tidak adil—negara mendapat bagian kecil.
  3. Hukum selektif, menciptakan ketidakpastian investasi.
  4. Kesenjangan kaya–miskin melebar ekstrem.
  5. Alokasi modal salah, merusak produktivitas jangka panjang.


Dampaknya: Indonesia kaya orang kaya instan dari SDA, monopoli, dan bisnis ilegal—tetapi miskin inovator teknologi. Ekspor didominasi komoditas mentah, bukan produk inovatif.


PDB Indonesia justru lebih banyak ditopang oleh konsumsi domestik (50%) ketimbang ekspor industri. Krisis 1998 menjadi bukti rapuhnya model ini—ekonomi berbasis rente runtuh saat koreksi politik terjadi.


Dua Jalan, Dua Hasil

Perbedaan strategi itu menciptakan jurang hasil pembangunan yang lebar:

Tahun Pendapatan per Kapita Indonesia (US$) Pendapatan per Kapita Korea Selatan (US$) Status
1970 ±80 ±270 Sama-sama negara miskin agraris
1990 ±570 ±6.500 Korea mulai lepas landas
2000 ±1.000 ±12.000 Korea masuk negara industri baru
2023 ±4.700 ±35.000 Korea jadi negara maju, Indonesia terjebak middle income trap

Sumber: World Bank, IMF, diolah


Pelajaran Strategis

  1. Korea Selatan membuktikan bahwa insentif ekonomi hanya efektif bila disertai syarat kinerja ketat: ekspor, inovasi, efisiensi.
  2. Indonesia menunjukkan bahwa insentif tanpa disiplin hanya melahirkan ekonomi rente, yang rapuh, tidak adil, dan gagal naik kelas.
  3. Quantum leap Korea lahir dari konsistensi kebijakan. Indonesia justru membuang 50 tahun dengan hasil stagnan.


Pertanyaan Bagi Bangsa

Kini, pertanyaan besar yang harus dijawab Indonesia:


Apakah kita ingin terus terjebak dalam ekonomi pemburu rente yang rapuh, atau berani menempuh jalan disiplin ekspor-inovasi seperti Korea Selatan?


Apa yang kita wariskan 50 tahun mendatang kepada generasi penerus akan ditentukan oleh keberanian menjawab pertanyaan ini hari ini.

(Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update