Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Kesalahan Struktural Gerakan Reformasi 1998

Senin, 29 September 2025 | Senin, September 29, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-28T23:56:32Z
Poto : ilustrasi.
Oleh: Laksamana Sukardi

(Menteri BUMN 1999–2004; Co-founder PDI Perjuangan; Mantan Bankir dan Anggota DPR RI)

CNEWS, Jakarta, 29 September 2025 - Reformasi 1998 merupakan tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia. Gerakan ini menumbangkan rezim otoriter Orde Baru setelah berkuasa lebih dari tiga dekade. Aspirasi awalnya sangat mulia: mengembalikan hak-hak politik rakyat, menghapus kontrol otoritarian, dan membangun institusi demokrasi.


Hasilnya terlihat pada lahirnya partai-partai politik baru, amandemen UUD 1945, hingga pembentukan lembaga penting seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Namun, setelah 25 tahun berjalan, warisan Reformasi justru menunjukkan kelemahan struktural yang serius. Alih-alih memperkuat demokrasi, Reformasi melahirkan bentuk baru otoritarianisme di tubuh partai politik. Kesalahan mendasar Reformasi adalah memberikan kekuasaan yang nyaris absolut kepada partai politik tanpa disertai mekanisme akuntabilitas.


Dari Euforia Kebebasan ke Monopoli Partai

Situasi psikologis 1998 dipenuhi euforia merebut kembali hak politik yang lama dibatasi. Selama Orde Baru, hanya tiga partai yang diakui negara: Golkar, PDI, dan PPP. Reformasi membebaskan ruang politik dengan melegalkan banyak partai baru.


Namun, kebebasan itu sekaligus menyerahkan seluruh gerbang demokrasi kepada partai politik. Mereka menjadi satu-satunya institusi yang berhak menyeleksi calon legislatif maupun eksekutif, dari presiden hingga anggota DPRD. Rakyat hanya diberi pilihan kandidat yang sudah ditentukan oleh elit partai.


Seiring berjalannya waktu, kekuasaan makin terkonsentrasi di tangan ketua umum partai. Figur ketua partai memiliki kendali besar terhadap arah kebijakan, baik di parlemen maupun eksekutif.


Kekuasaan Absolut Ketua Partai

Amandemen konstitusi pasca-Reformasi justru memperkuat peran DPR, yang otomatis memperkuat kendali partai. DPR memiliki kewenangan strategis dalam memilih pejabat penting negara: hakim agung, Gubernur Bank Indonesia, pimpinan OJK, BPK, hingga Panglima TNI dan Kapolri.


Karena fraksi DPR sepenuhnya tunduk pada keputusan ketua partai, maka kekuasaan tersebut terkonsentrasi pada segelintir elit. Mereka tidak hanya menentukan siapa yang duduk di jabatan publik, tetapi juga mengendalikan legislasi, anggaran, serta pengawasan. Terbentuklah lingkaran kekuasaan yang tertutup, tanpa mekanisme check and balance yang jelas.


Pilar Demokrasi yang Tidak Demokratis

Kondisi ini melahirkan paradoks: pilar demokrasi justru dibangun di atas fondasi yang tidak demokratis. Kepemimpinan partai politik bertransformasi menjadi waralaba kekuasaan dengan logika transaksional yang populer disebut wani piro?


Demokrasi internal partai hampir tidak pernah dijalankan. Kursi ketua umum jarang berganti secara sehat, bahkan sering diwariskan ke keluarga, memperkuat dinasti politik. Akibatnya, partai politik yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat justru memutus hubungan rakyat dengan wakilnya.


Dua puluh tahun lalu, saya sudah mengingatkan lewat buku Reformasi Partai Politik: Lebih Penting daripada Pemilu bahwa jika tren ini berlanjut, aspirasi rakyat akan tersumbat. Kini hal itu menjadi kenyataan.


Satir publik menggambarkan ironi ini: “Cahaya di atas, gelap di bawah” serta “Pengusaha jadi penguasa, penguasa jadi pengusaha.” Keduanya menggambarkan melekatnya kepentingan politik dan bisnis yang semakin merusak kepercayaan rakyat.


Konsekuensi Kesalahan Struktural

Kesalahan utama Reformasi adalah gagal mengantisipasi arah perkembangan kekuasaan. Dengan memberikan kewenangan mutlak kepada elit partai tanpa pagar akuntabilitas, sistem politik menjadi rawan disalahgunakan.


Aspirasi rakyat kini tidak lagi tersalurkan melalui institusi resmi. Kaum terdidik memilih meninggalkan negeri ini (brain drain), sementara mayoritas rakyat menyalurkan kekecewaan melalui demonstrasi jalanan. Tanpa oposisi sejati dan tanpa akuntabilitas internal, demokrasi mudah terjebak dalam stagnasi oligarkis. Politik akhirnya lebih melayani kepentingan elit partai ketimbang rakyat.


Jalan Reformasi Korektif

Tantangan Indonesia kini bukan memulai dari nol, melainkan memperbaiki desain Reformasi yang cacat. Beberapa langkah mendesak antara lain:


  1. Reformasi Partai Politik – mewajibkan demokrasi internal dan akuntabilitas.
  2. Reformasi Tata Kelola Politik – menata ulang mekanisme pencalonan, syarat kompetensi, dan efisiensi birokrasi.
  3. Review Rente Ekonomi – meninjau ulang distribusi konsesi sumber daya alam.
  4. Transparansi Kekayaan Negara – mewajibkan pejabat membuka data aset dan harta kekayaannya.
  5. Pemisahan Politik dan Bisnis – mencegah fusi kepentingan antara elit ekonomi dan penguasa.
  6. Penegakan Hukum Independen – memperkuat profesionalisme lembaga peradilan dan KPK.
  7. Jaminan Sosial yang Adil – memastikan perlindungan sosial merata bagi seluruh rakyat.


Reformasi korektif ini membutuhkan keberanian politik sekaligus kepemimpinan intelektual. Sebab, kelompok miskin tidak memiliki instrumen untuk menawarkan solusi sistemik. Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting untuk memberi arah dan peta jalan.


Reformasi 1998 berhasil meruntuhkan otoritarianisme, tetapi gagal mencegah lahirnya oligarki partai. Dengan memberikan kekuasaan besar tanpa akuntabilitas kepada elit partai, gerakan Reformasi meninggalkan warisan ketidakseimbangan struktural yang kini mengancam masa depan demokrasi.


Indonesia tidak membutuhkan “reset total,” melainkan pembaruan sistemik yang mengembalikan aspirasi rakyat, membatasi penyalahgunaan kuasa elit, dan mengembalikan demokrasi ke tangan rakyat, bukan dinasti politik.


Hanya dengan langkah itu janji Reformasi bisa ditepati. Dan hanya dengan bimbingan Tuhan serta tekad kolektif bangsa, Indonesia dapat terhindar dari jurang kemunduran demokrasi.

( RED.CN )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update