CNEWS, Medan – Kasus dugaan penganiayaan yang berujung saling lapor di Kota Medan kini memasuki bulan keempat tanpa kepastian hukum. Dua laporan polisi tercatat:
- LP/B/245/V/2025/SPKT/POLSEK DELI TUA/POLRESTABES MEDAN/POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 7 Mei 2025, pelapor Eva Rut Sitompul.
- LP/B/1521/V/2025/SPKT/POLRESTABES MEDAN/POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 8 Mei 2025, pelapor Shanty Clara.
Meski sudah berjalan sejak Mei 2025, kedua perkara masih mandek di tahap penyelidikan.
Kuasa Hukum Pertanyakan Profesionalitas Penyidik
Kuasa hukum Eva Rut Sitompul, Daniel S. Sihotang, menyebut penanganan perkara ini janggal.
“Klien kami melapor lebih dulu di Polsek Delitua pada 7 Mei 2025. Aneh, justru sehari kemudian pihak terlapor membuat laporan tandingan di Polrestabes Medan. Hingga kini, keduanya belum naik ke penyidikan. Ada apa dengan penyidik?” tegas Daniel, Kamis (25/9/2025).
Menurut Daniel, situasi ini mengakibatkan kliennya tidak mendapat kepastian hukum. Padahal, KUHAP mengamanatkan setiap laporan harus ditindaklanjuti secara profesional, cepat, dan transparan.
Dua Surat Resmi ke Polda Sumut
Lantaran stagnasi penanganan kasus, pihak kuasa hukum mengirim dua surat pengaduan resmi pada 25 September 2025:
- Nomor 026/PPH-DSS/IX/2025 kepada Kabidpropam Polda Sumut, berisi permintaan audit investigasi terhadap proses penanganan kasus di Polsek Delitua dan Polrestabes Medan.
- Nomor 025/PPH-DSS/IX/2025 kepada Dirreskrimum Polda Sumut, berisi desakan agar dilakukan gelar perkara khusus guna membuka terang duduk perkaranya.
“Kami minta Propam memeriksa apakah ada kelalaian atau ketidakprofesionalan penyidik. Dirreskrimum harus segera gelar perkara agar kasus ini jelas arahnya,” jelas Daniel.
Sorotan ke Penyidik
Dalam pengaduannya, Daniel menyebut dua nama penyidik yang menangani laporan berbeda:
- Aiptu RH Siagian (Penyidik Polsek Delitua).
- Brigadir Poltak Hiskia Pasaribu (Penyidik Polrestabes Medan).
Menurut Daniel, keterlambatan atau keragu-raguan penyidik justru memperkeruh keadaan. “Ketika aparat tidak tegas, korban justru semakin rentan dan rasa keadilan masyarakat terganggu,” tegasnya.
Konteks Hukum: Saling Lapor dan Tantangan Penyidikan
Dalam praktik hukum, kasus saling lapor kerap terjadi pada tindak pidana penganiayaan. Umumnya, kedua pihak sama-sama merasa sebagai korban. Namun, menurut pengamat hukum pidana, polisi wajib menilai berdasarkan alat bukti, saksi, dan visum et repertum, bukan sekadar menerima laporan tandingan.
“Jika dua laporan sama-sama didiamkan, ini berpotensi melanggar asas due process of law. Polisi wajib menentukan siapa korban, siapa pelaku, agar tidak terjadi kriminalisasi,” kata seorang pengamat hukum dari Universitas Sumatera Utara.
Harapan Ahli Hukum dan Publik
Kuasa hukum Eva Rut berharap langkah pengaduan ke Propam dan Dirreskrimum dapat mempercepat proses hukum. “Audit investigasi dan gelar perkara khusus bukan hanya hak klien kami, tapi juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada Polri,” ujarnya.
Kasus ini juga membuka kembali kritik terhadap penanganan laporan masyarakat di Sumatera Utara, yang dinilai sering lambat, diskriminatif, bahkan diduga sarat intervensi.
Catatan
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Polrestabes Medan maupun Polsek Delitua belum memberikan keterangan resmi terkait alasan lambannya proses penyelidikan kedua laporan tersebut. Publik kini menanti apakah Polda Sumut benar-benar menindaklanjuti surat pengaduan kuasa hukum dengan audit investigasi dan gelar perkara yang transparan.
Analisis Singkat: Kasus ini berpotensi menjadi preseden penting di Sumatera Utara mengenai penanganan perkara saling lapor yang rawan dijadikan alat balas dendam hukum. Polda Sumut ditantang menunjukkan sikap tegas dan profesional demi menjaga kepercayaan publik.
( Tim )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar