Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Aktivis Papua Desak Freeport Segera Evakuasi 7 Karyawan Terjebak Longsor Terowongan Bawah Tanah

Jumat, 12 September 2025 | Jumat, September 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-12T07:48:33Z


CNEWS | Papua – Ketidakpastian masih menyelimuti nasib tujuh karyawan PT Freeport Indonesia yang dilaporkan terjebak di terowongan tambang bawah tanah di Tembagapura, Mimika, Papua Tengah, sejak Senin (8/9/2025) malam. Hingga kini, kondisi mereka belum juga dipastikan, sementara proses evakuasi menghadapi hambatan serius akibat volume material longsor yang sangat besar.



Aktivis Papua sekaligus Ketua LSM WGAB, Yerry Basri Mak, SH, MH, menegaskan keprihatinannya dan mendesak PT Freeport Indonesia bertindak lebih cepat.


“Kami sangat prihatin dengan nasib tujuh karyawan PT Freeport yang masih terjebak di dalam terowongan. Sampai hari ini belum ada kejelasan mengenai kondisi mereka. Freeport harus bertanggung jawab penuh dan segera melakukan evakuasi secepatnya,” tegas Yerry kepada wartawan, Jumat (12/9/2025).

 

Menurut Yerry, lambannya evakuasi mencerminkan lemahnya mitigasi bencana dalam sistem operasi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu. Ia menegaskan, keselamatan pekerja harus ditempatkan di atas kepentingan produksi.


Freeport: Material Longsor Lebih Besar dari Perkiraan

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengakui proses evakuasi tidak mudah. Material longsor yang turun disebut jauh lebih banyak dari perkiraan awal, bahkan masih terjadi pergerakan lumpur bijih basah di lokasi.


“Material yang turun jumlahnya jauh lebih banyak dari yang kami perkirakan sehingga memerlukan penanganan ekstra dan waktu yang lebih lama. Kami menggunakan alat berat, bor, hingga drone untuk memulihkan akses,” kata Tony, Kamis (11/9/2025) malam, seperti dilansir Detikcom.

 

Freeport menegaskan fokus utama perusahaan adalah penyelamatan tujuh karyawan yang terjebak, dengan melibatkan inspektur tambang Kementerian ESDM, MIND ID, Freeport McMoRan, serta pemerintah Papua dan Papua Tengah.


Tragedi Serupa Pernah Terjadi

Kasus ini memunculkan kembali ingatan publik pada sejumlah tragedi serupa di tambang Freeport. Yang paling besar terjadi pada Mei 2013, ketika longsor di Underground Training Facility, Grasberg, menewaskan 28 pekerja. Investigasi waktu itu menyebut kondisi geologi terowongan tidak stabil, sementara standar keselamatan kerja dinilai diabaikan.


Insiden lain tercatat pada 2017 dan 2020, yang juga merenggut nyawa pekerja akibat runtuhan batu dan kecelakaan tambang bawah tanah. Rangkaian peristiwa tersebut mempertegas sorotan publik terhadap lemahnya sistem keamanan dan minimnya pengawasan ketat terhadap operasi Freeport.


Keluarga Korban Menunggu Kepastian


Hingga berita ini diturunkan, keluarga tujuh pekerja yang terjebak masih menanti kabar dengan penuh cemas. PT Freeport melalui VP Corporate Communications, Katri Krisnati, memastikan pihaknya mengetahui lokasi para pekerja dan meyakini mereka dalam kondisi aman.


“Kru sedang berupaya membersihkan akses untuk evakuasi yang aman dan cepat. Kami juga memastikan kebutuhan pekerja yang terdampak tetap tersedia,” kata Katri dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Selasa (9/9).

 

Di Jakarta, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan telah mengirim tim ke lokasi untuk memastikan penanganan berjalan maksimal.


Eksklusif: Tambang Raksasa, Risiko Raksasa


Kontribusi Ekonomi Freeport

Freeport disebut sebagai penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia dari sektor tambang. Tahun 2023, kontribusi Freeport mencapai lebih dari Rp 40 triliun dalam bentuk pajak, royalti, dan dividen kepada negara. Produksi emasnya mencapai 1,6 juta ons per tahun, sementara produksi tembaga sekitar 1,6 miliar pon.

Namun, kontras mencolok terlihat di Papua:


  • Tingkat kemiskinan Papua dan Papua Barat masih yang tertinggi di Indonesia, yakni rata-rata 26%, jauh di atas rata-rata nasional sekitar 9%.
  • Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua hanya sekitar 61,39 (2023), terendah di Indonesia.
  • Infrastruktur dasar di sekitar tambang masih terbatas: akses jalan, listrik, dan layanan kesehatan jauh dari standar layak, terutama di wilayah pedalaman.


Keselamatan Pekerja yang Dipertaruhkan

Serangkaian tragedi di tambang bawah tanah Freeport menunjukkan pola berulang: lemahnya mitigasi bencana, terbatasnya sistem peringatan dini, hingga standar keselamatan yang sering dikalahkan oleh target produksi. Para pekerja berada di garis depan risiko, sementara keluarga mereka menanggung ketidakpastian setiap kali insiden terjadi.


Lemahnya Pengawasan Negara


Meski pemerintah melalui Kementerian ESDM dan holding BUMN MIND ID memiliki peran dalam pengawasan, kecelakaan berulang membuktikan lemahnya kontrol. Pengawasan cenderung reaktif, baru bergerak setelah tragedi terjadi.


Papua Menanggung Beban


Bagi masyarakat Papua, Freeport sering dipersepsikan sebagai simbol paradoks: tambang emas terbesar dunia ada di tanah mereka, namun kesejahteraan tidak pernah benar-benar terasa. Yang terlihat justru kerusakan ekologis, pencemaran sungai, konflik lahan, serta kecelakaan tambang yang berulang.


Desakan Transparansi dan Reformasi Keselamatan Tambang

Kasus tujuh karyawan yang terjebak ini menjadi ujian moral sekaligus operasional bagi Freeport. Publik mendesak perusahaan membuka informasi transparan, menjamin keselamatan pekerja, sekaligus memperbaiki sistem mitigasi bencana.


Aktivis Papua menegaskan, tanpa perubahan mendasar dalam keselamatan kerja, pengawasan negara, dan distribusi manfaat ekonomi, Papua hanya akan terus menanggung beban risiko, sementara keuntungan mengalir keluar tanah mereka.( YBM - RED) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update