Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Sengketa Lahan Eks PTPN II: Jejak Mafia Tanah di Balik Citraland Tanjungmorawa

Sabtu, 23 Agustus 2025 | Sabtu, Agustus 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-23T14:42:46Z

 


CNews ,Medan – Sengketa tanah konsesi eks PTPN II di Tanjungmorawa bukan sekadar perkara perdata antara Kesultanan Serdang dan pengembang. Di balik kasus ini, terbentang benang kusut mafia tanah yang melibatkan oknum eks PTPN II/PTPN I Regional I, perusahaan pengembang properti berskala nasional, hingga kemungkinan pembiaran oleh aparatur pemerintah daerah.


Sultan Serdang ke-IX, Tuanku Achmad Thala’a Syariful Alamshah, menegaskan bahwa seluruh aktivitas pembangunan Citraland Tanjungmorawa harus dihentikan (stanvas). Pasalnya, lahan yang digarap pengembang adalah tanah konsesi Kesultanan Serdang yang masa berlakunya berakhir pada 1948, jauh sebelum lahirnya UU Nasionalisasi 1958.


“Ini bukan sekadar sengketa hukum biasa. Jika terus dipaksakan, maka pembangunan Citraland sama saja dengan perampasan hak adat, pelecehan sejarah, dan penghinaan terhadap martabat hukum bangsa,” ujar Sultan dengan nada tegas.


Jejak Mafia Tanah: Dari PTPN II ke PT NDP


Investigasi RataNews menemukan pola yang mencurigakan. Lahan konsesi eks PTPN II yang HGU-nya baru berakhir 2028 diduga telah dijual-belikan melalui PT Nusa Dua Properti (NDP), anak perusahaan bentukan eks PTPN II yang kini berubah nama menjadi PTPN I Regional I.


Modelnya berupa Kerja Sama Operasi (KSO) yang dipakai sebagai tameng untuk mengalihkan aset negara ke pihak swasta. Dalam praktiknya, tanah yang masih bersengketa dijadikan komoditas, diperjualbelikan layaknya tanah bebas, meski secara hukum masih terikat konsesi.


“Ini jelas praktik patgulipat. Tanah negara dan tanah adat dijadikan bancakan. Oknum manajemen PTPN harus diperiksa, karena tanpa restu pejabat internal, pengembang tidak mungkin bisa masuk ke lahan ini,” ungkap Prof. Dr. Mohd. Yusri, M.Si, pengamat kebijakan Sumut.


Pemasaran Properti di Atas Tanah Sengketa


Ironisnya, meski berstatus sengketa di Pengadilan Negeri Lubukpakam (Perkara No. 539/Pdt.G/2025/PN.Lbp), Citraland Tanjungmorawa sudah aktif dipasarkan melalui media sosial dan brosur resmi. Ratusan unit rumah elit telah berdiri, sebagian bahkan sudah ditempati.


Hal ini memperkuat dugaan bahwa pengembang percaya diri karena memiliki “beking” kuat. Publik menduga adanya kolusi antara oknum PTPN, pejabat lokal, dan pengembang dalam mempercepat proses alih lahan, meski cacat hukum.


Kesultanan Ancam Mobilisasi Massa


Sultan Serdang menegaskan masih menahan masyarakat adat agar tidak turun ke jalan. Namun, jika proses hukum dan desakan publik diabaikan, ia tidak segan memimpin langsung aksi unjuk rasa dengan ribuan warga adat ke lokasi pembangunan Citraland.


“Kami ingin menjaga kondusifitas. Tapi bila pemerintah daerah dan aparat hukum terus diam, maka kami sendiri yang akan bertindak,” tegasnya.


Tanggung Jawab Holding PTPN dan Kejagung


Ketua Umum Komunitas Peduli Pensiunan Perkebunan Nusantara (KP3N), H. Zulkifli Barus, mendesak Dirut Holding PTPN III Persero, Denaldi Mulino Mauna, agar tidak tutup mata. Ia menilai praktik mafia tanah di tubuh PTPN adalah bom waktu yang bisa merusak citra BUMN perkebunan.


“Dirut Holding jangan hanya diam di Jakarta. Turun ke Sumatera Utara, buka dokumen, laporkan siapa oknum pejabat PTPN yang terlibat. Kalau tidak, Holding PTPN akan dianggap melindungi mafia tanah,” ujarnya.


Kejaksaan Agung RI kini tengah menyelidiki dugaan alih fungsi dan jual-beli tanah konsesi eks PTPN II. Kasus ini berpotensi menjadi pintu masuk untuk membongkar jaringan mafia tanah terbesar di Sumatera Utara, yang selama ini diduga melibatkan pengembang properti besar, pejabat daerah, hingga oknum aparat.


Potret Buram Konflik Agraria Sumut

Kasus Citraland Tanjungmorawa hanyalah satu dari puluhan sengketa lahan eks PTPN II di Sumatera Utara. Dengan lahan ribuan hektar yang tersebar di Deli Serdang, Langkat, dan Binjai, tanah eks konsesi PTPN menjadi ladang subur praktik mafia tanah.


Jika pemerintah pusat, Kejaksaan Agung, dan Holding PTPN tidak serius menuntaskannya, maka konflik serupa akan terus berulang: rakyat dan masyarakat adat menjadi korban, sementara segelintir elit menikmati keuntungan. ( Red) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update