CNEWS – Medan | Puluhan jurnalis dari berbagai media di Kota Medan menggelar aksi damai di depan Mapolrestabes Medan, Jumat (1/8), menuntut kejelasan penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan yang hingga kini masih mandek tanpa penetapan tersangka. Aksi ini dipicu oleh lambannya proses hukum atas dugaan perampasan dan penganiayaan terhadap jurnalis Junaedi Daulay yang terjadi tujuh bulan lalu.
Peristiwa yang disorot melibatkan anak seorang oknum Kepala Desa Cinta Rakyat dan seorang preman debt collector dari perusahaan pembiayaan Megacom Medan. Selain perampasan ponsel milik korban, aksi tersebut juga disertai kekerasan fisik berupa cekikan dan intimidasi langsung di lapangan saat korban sedang menjalankan tugas jurnalistiknya.
Jurnalis Dikecewakan: Kapolrestabes Tak Menemui Aksi, Aspirasi Ditutup Rapat
Koordinator aksi, Junaedi Daulay, menyuarakan kekecewaannya terhadap Polrestabes Medan, khususnya kepada Kapolrestabes Kombes Pol Gidion Arief Setyawan, yang tidak hadir menemui massa aksi meski telah lebih dari satu jam berdiri di depan markas.
“Satu jam lebih kami menunggu di depan markas kepolisian. Tapi Kapolrestabes memilih diam. Tak sekalipun keluar untuk mendengar jeritan kami,” tegas Junaedi.
Ia juga menyesalkan sikap aparat yang justru mengundang beberapa perwakilan secara tertutup ke dalam ruang mediasi, tanpa membuka ruang dialog secara terbuka di hadapan publik.
“Ini bukan soal personal. Ini soal transparansi dan rasa keadilan. Kenapa harus disembunyikan? Publik berhak tahu,” tambahnya.
Tuntutan Tegas: Tangkap Anak Oknum Kades dan Preman Megacom
Dalam aksinya, Junaedi mengenakan pakaian hitam—simbol berkabung atas matinya keadilan di institusi hukum Polrestabes Medan. Ia menyampaikan dua tuntutan utama:
- Segera tetapkan tersangka terhadap anak oknum Kades Cinta Rakyat yang diduga menjadi pelaku kekerasan dan perampasan terhadap wartawan.
- Tindak tegas oknum preman debt collector Megacom yang selama ini meresahkan masyarakat dan turut terlibat dalam intimidasi.
“Kalau wartawan saja bisa diintimidasi dan dipukul di lapangan tanpa proses hukum jelas, bagaimana dengan rakyat biasa?” tanya Junaedi.
Peringatan Publik: Kebebasan Pers Terancam, Polisi Jangan Diam
Aksi ini menjadi peringatan keras bagi institusi kepolisian, bahwa perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya soal profesionalisme, tetapi menyangkut kredibilitas institusi negara dalam menjaga demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Lambannya respons Polrestabes Medan dinilai sebagai bentuk abainya aparat terhadap hak-hak konstitusional jurnalis, bahkan dapat menimbulkan dugaan pembiaran terhadap pelaku kekerasan berbasis kedekatan kuasa lokal.
“Kami bukan meminta perlakuan istimewa, kami hanya menuntut keadilan yang sama. Jangan biarkan hukum dibungkam karena pelaku anak pejabat desa,” tegas salah satu jurnalis yang ikut aksi.
Situasi Kini: Kasus Stagnan, Kepercayaan Publik Tergerus
Meski laporan polisi sudah dilayangkan sejak awal tahun, hingga kini tidak ada satupun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka, bahkan identitas pelaku telah lama diketahui. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa proses hukum sedang diintervensi oleh kekuatan non-yuridis.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen Kapolrestabes Medan dalam membuktikan bahwa kepolisian tetap berpihak pada korban, bukan pada pelaku yang punya kedekatan dengan elit lokal. ( Tim - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar