Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Kasus Pelecehan Seksual Gadis Disabilitas di Tebing Tinggi: Polisi “Lepas” Tersangka, Transparansi Hanya Mitos?

Sabtu, 16 Agustus 2025 | Sabtu, Agustus 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-16T08:12:58Z


CNews, Tebing Tinggi, Sumut — Penanganan kasus pelecehan seksual terhadap seorang gadis disabilitas di wilayah hukum Polres Tebing Tinggi, jajaran Polda Sumut, kembali membuka luka lama soal kredibilitas aparat penegak hukum. Alih-alih menunjukkan keberpihakan pada korban yang rentan, polisi justru dinilai melonggarkan jeratan hukum terhadap pelaku.



Tersangka Dilepaskan dengan Dalih P19


Informasi yang dihimpun, tersangka sempat ditahan, namun kemudian dilepaskan dengan alasan berkas perkara dikembalikan (P19) oleh pihak kejaksaan untuk dilengkapi. Ironisnya, setelah itu kepolisian langsung memberikan penangguhan penahanan terhadap pelaku.


Padahal, korban adalah penyandang disabilitas yang secara hukum berhak mendapat perlindungan khusus sebagaimana dijamin oleh UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), KUHAP, serta aturan perlindungan penyandang disabilitas.


Kuasa Hukum Korban: Tidak Ada Transparansi


Kuasa hukum korban, Utreck Ricardo Siringoringo, S.H., M.H. dari Law Firm Siringo and Partners, menyatakan pihaknya tidak pernah mendapat pemberitahuan resmi mengenai penangguhan penahanan pelaku.


“Kami baru mengetahui tersangka dilepaskan setelah rekan kami, Aktivis Eva Purba, bertemu Kasat Reskrim hari ini di Polres Tebing Tinggi. Tidak ada surat, tidak ada telepon, tidak ada komunikasi resmi dari penyidik. Ini jelas tidak transparan dan mencederai kepercayaan publik,” tegas Utreck.

 

Praktik seperti ini, lanjutnya, memperlihatkan bahwa proses hukum lebih berpihak pada kenyamanan pelaku daripada pemulihan korban.


Potensi Intimidasi terhadap Korban


Pemberian penangguhan penahanan dalam kasus pelecehan seksual sangat berisiko. Pelaku yang bebas dikhawatirkan bisa melakukan intimidasi, tekanan psikologis, atau ancaman terhadap korban dan keluarganya.


Situasi ini bertolak belakang dengan mandat UU TPKS, yang menekankan perlindungan maksimal terhadap korban, khususnya korban rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.


Cermin Buram Penegakan Hukum


Kasus ini menambah daftar panjang dugaan lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan seksual di Sumatera Utara. Meski pemerintah pusat gencar mengampanyekan perlindungan korban, praktik di lapangan justru menunjukkan hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah.


“Kalau korban disabilitas pun tidak mendapatkan perlindungan maksimal, bagaimana mungkin publik bisa percaya bahwa polisi serius menegakkan UU TPKS?” ujar seorang aktivis perempuan di Tebing Tinggi.


Sorotan Publik: Polda Sumut Ditantang Bertindak


Kini, sorotan publik tertuju pada Polres Tebing Tinggi dan Polda Sumut. Dua pertanyaan besar muncul:


  1. Apakah kepolisian berani memperbaiki proses hukum agar berpihak pada korban?
  2. Atau justru membiarkan kasus ini menjadi catatan kelam baru dalam penanganan perkara seksual di Indonesia?


Masyarakat sipil, aktivis HAM, dan organisasi advokasi perempuan menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga ke meja Mabes Polri dan Komnas Perempuan, jika Polres Tebing Tinggi tidak segera bersikap transparan dan profesional. ( Tim - Red) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update