Indonesia Raya yang Gagal Lahir: Sejarah Tersembunyi di Balik Nyaris Bersatunya Indonesia dan Malaya
CNews - 26 Agustus 2025 - Pada suatu hari di Agustus 1945, dunia berada di persimpangan. Kekalahan Jepang hanya soal waktu, Sekutu mulai menancapkan kuku pengaruhnya kembali di Asia Tenggara, dan di Jakarta, para pemuda tengah mendesak proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan. Namun, di balik pusaran sejarah itu, ada sebuah rencana besar yang hampir mengubah peta politik kawasan: penyatuan Indonesia dan Malaya dalam sebuah negara bernama Indonesia Raya.
Janji Kemerdekaan dari Dalat
12 Agustus 1945, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat dipanggil ke Dalat, Vietnam. Marsekal Terauchi, Panglima Tentara Jepang di Asia Tenggara, berjanji: Indonesia akan merdeka pada 24 Agustus.
Namun, perjalanan pulang mereka membawa cerita lain. Di Singapura, lalu ke Taiping, Perak, rombongan bertemu dua pemimpin nasionalis Melayu: Ibrahim Yaacob dari Kesatuan Melayu Muda (KMM), dan Burhanuddin Al-Helmy dari Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS).
Pertemuan itu melahirkan sebuah ide radikal: sebuah negara merdeka serumpun, melampaui batas kolonial, bernama Indonesia Raya—yang mencakup Indonesia, Malaya, Singapura, Brunei, hingga Kalimantan Utara.
Cita-Cita Serumpun
Soekarno kala itu berkata lantang:
“Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia.”
Ibrahim Yaacob menjawab dengan sumpah:
“Kami orang Melayu akan setia menciptakan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka.”
Janji ini bukan omong kosong. Catatan riset Graham Brown (2005) menunjukkan, ide Indonesia Raya lahir bukan hanya dari romantisme serumpun, melainkan juga sebagai taktik politik menghadapi Inggris. Jepang, yang saat itu masih menguasai Malaya, melihat penyatuan itu bisa memperlemah dominasi kolonial Inggris bila mereka kembali.
Retaknya Kesepakatan di Puncak Elit
Namun, di tingkat elit Indonesia, tidak semua sepakat. Mohammad Hatta diyakini menolak gagasan penyatuan Malaya. Alasan utamanya: Indonesia yang baru lahir saja sudah akan menghadapi tantangan besar—perang mempertahankan kemerdekaan, keterbatasan ekonomi, serta pluralitas etnis yang rumit.
Sejarawan Boon Kheng Cheah dalam Red Star Over Malaya (1983) menyebutkan, gagasan itu memang terbelah sejak awal. Ada kelompok yang melihat Indonesia Raya sebagai cita-cita revolusioner, tapi ada pula yang menilainya beban politik baru.
Jepang Tumbang, Proklamasi Dipaksa Cepat
Belum sempat rencana itu dimatangkan, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Sehari kemudian, pemuda di Jakarta menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, mendesak proklamasi segera.
Akhirnya, pada 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Proklamasi lebih cepat dari jadwal Jepang membuat semua agenda politik lain, termasuk penyatuan Malaya, otomatis gugur.
Ibrahim Yaacob pun kehilangan momentum. Dari seorang pejuang integrasi Indonesia Raya, ia kemudian harus mengubah haluan, sementara Malaya tetap berada dalam cengkeraman Inggris hingga merdeka sendiri pada 31 Agustus 1957.
Sejarah yang Disingkirkan
Mengapa kisah Indonesia Raya jarang muncul dalam buku sejarah resmi? Sejarawan menyebut ada beberapa faktor:
- Politik Nasionalisme Sempit – Indonesia harus fokus pada republik baru, sehingga wacana penyatuan dianggap distraktif.
- Kepentingan Inggris – Inggris jelas menolak hilangnya Malaya dari jajahannya, apalagi wilayah itu kaya timah dan karet.
- Narasi Orde Baru – Dalam kurikulum sejarah era Suharto, cerita tentang rencana penyatuan sering dipinggirkan demi narasi “Indonesia berdiri sendiri”.
Padahal, fakta menunjukkan, di sejumlah wilayah Malaya kala itu bendera Merah Putih sudah dikibarkan, tanda kesetiaan pada cita-cita Indonesia Raya.
Bayang-Bayang di Masa Kini
Hari ini, ide penyatuan politik mungkin terdengar mustahil. Malaysia sudah mapan dengan identitas bangsanya, begitu juga Indonesia. Namun, bayangan “Indonesia Raya” masih terasa lewat ikatan budaya, bahasa, dan sejarah serumpun yang tak terpisahkan.
Sejarah ini mengingatkan bahwa batas negara di Asia Tenggara bukanlah takdir alamiah, melainkan hasil tarik-menarik kolonialisme, kepentingan elit, dan momentum politik. Jika saja Soekarno dan Ibrahim Yaacob menempuh jalan lain, mungkin peta Asia Tenggara hari ini tidak mengenal dua negara bernama Indonesia dan Malaysia—melainkan satu bendera besar Merah Putih berkibar dari Sabang sampai Singapura, dari Jawa hingga Johor. ( Tim Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar