Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

BREAKING NEWS: Fenomena Bendera One Piece Menjelang 17 Agustus—Simbol Perlawanan atau Jeritan Diam Generasi Muda?

Senin, 04 Agustus 2025 | Senin, Agustus 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-04T07:24:40Z



Bendera Bajak Laut One Piece Berkibar Jelang HUT RI ke-80: Simbol Protes Diam yang Mengusik Kesakralan Merah Putih


CNEWS , Jakarta — Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, sebuah fenomena sosial yang tak lazim mengemuka: masyarakat, terutama kalangan muda, ramai-ramai mengibarkan bendera bajak laut dari anime One Piece di depan rumah, kendaraan, hingga tiang-tiang bendera yang lazimnya diperuntukkan bagi Sang Saka Merah Putih.


Bendera hitam dengan lambang tengkorak bertopi jerami—dikenal sebagai Jolly Roger milik Monkey D. Luffy dan kru Topi Jerami—mendadak menjamur di berbagai sudut negeri. Fenomena ini tidak hanya viral di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter), tetapi juga menimbulkan perdebatan serius di ruang publik.


Namun di balik kehebohan dunia maya, aksi ini bukan sekadar tren atau bentuk fandom. Ia menjelma simbol protes senyap terhadap situasi sosial-politik yang dinilai kian jauh dari cita-cita kemerdekaan.


Dari Dunia Fiksi ke Kritik Sosial yang Nyata

Dalam semesta fiktif One Piece, Jolly Roger bukan hanya simbol bajak laut, tapi juga lambang perlawanan terhadap kekuasaan yang korup dan otoriter—yakni Pemerintah Dunia dan bangsawan langit Tenryubito. Di Indonesia 2025, simbol ini diadopsi oleh warga sebagai bentuk kekecewaan terhadap lembaga-lembaga formal: hukum, pemerintahan, bahkan institusi negara.


“Ketidakadilan dipertontonkan dengan terang-terangan. Kami sudah tidak percaya lagi pada hukum. Kami habis,” ujar seorang warga di Palu, Sulawesi Tengah, yang memasang bendera hitam berdampingan dengan Merah Putih di gang sempit tempat tinggalnya.


Fenomena ini meluas secara organik: muncul di Jakarta, Makassar, Medan, hingga kota-kota kecil di Jawa dan Sumatera. Tanpa koordinasi, tanpa seruan terbuka, namun menyuarakan pesan kolektif: hilangnya kepercayaan pada sistem.


Protes Tanpa Megafon, Seruan dari Dunia Imajinasi

Tidak seperti demonstrasi konvensional, aksi pengibaran Jolly Roger berlangsung senyap, namun menggigit. Ini bukan kerusuhan, melainkan ekspresi simbolik dan kultural dari generasi yang merasa terasing dari negara sendiri.


Seorang konten kreator bernama @imamromeo1 menyebut fenomena ini sebagai bentuk “protes generasi muda yang tak lagi percaya pada lembaga formal.” Video miliknya diserbu puluhan ribu komentar, mayoritas senada: “Merah Putih terlalu suci untuk berdampingan dengan sistem yang korup.”


Pandangan Akademik: Ekspresi Politik Kultural


Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Dr. M. Fahmi Alamsyah, menyebut fenomena ini sebagai bentuk ekspresi politik kultural yang sah dalam demokrasi.


“Mereka tidak membakar ban, tidak menyerang aparat. Tapi simbol yang dipilih sangat kuat secara naratif dan emosional. Ini alarm sosial yang tidak boleh diabaikan negara,” ujarnya saat dihubungi CNEWS, Senin (4/8).


Respons Pemerintah: Tegas Tapi Cenderung Reaktif


Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Presiden maupun kementerian terkait. Namun, sejumlah pejabat mulai angkat suara dengan nada tegas.


Tokoh hukum dan aktivis antikorupsi Mohammad Trijanto menyebut aksi pengibaran Jolly Roger sebagai bentuk “pelecehan konstitusional yang dapat dijerat sanksi pidana.”


“Mengibarkan bendera fiksi dari budaya luar sebagai pengganti Merah Putih adalah tindakan yang merendahkan martabat nasional. Ini bukan soal kreativitas, ini pelanggaran hukum,” tegas Trijanto, merujuk Pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.


Trijanto bahkan menggagas pembentukan Jaringan Pemantau Simbol Negara untuk memantau pelanggaran terhadap simbol-simbol kebangsaan.


“Kalau bangsa ini tak bisa menjaga kehormatan Merah Putih, jangan harap dihormati oleh bangsa lain,” pungkasnya.


Menteri HAM dan Menteri Kebudayaan Angkat Suara


Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menilai pelarangan bendera selain Merah Putih di ruang publik sebagai langkah penting menjaga integritas nasional.


“Simbol negara adalah representasi kehormatan bangsa. Larangan ini bukan represi, tapi bentuk penghormatan terhadap fondasi bersama,” ujar Pigai.


Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengimbau masyarakat untuk tetap menjunjung khidmat perayaan kemerdekaan

.

“Kita harus fokus merayakan 80 tahun Indonesia merdeka dengan atribut resmi negara. Jangan sampai simbol-simbol fiksi mengaburkan makna perjuangan,” ujar Fadli.


Antara Simbol Protes dan Pelecehan Simbol Negara


Fenomena Jolly Roger ini menyisakan dilema nasional: mengakomodasi kebebasan berekspresi atau menegakkan kesakralan simbol negara?


Apakah ini sekadar iseng anak muda, atau bentuk frustrasi kolektif terhadap sistem yang dinilai tidak adil?


Di bawah bendera hitam bertengkorak itu, berkibar suara-suara yang selama ini tercekat. Mereka tak menyuarakan protes lewat kerusuhan, melainkan lewat simbol imajinatif yang justru mencerminkan kenyataan yang getir.


Dan barangkali, justru di situlah letak ironinya: ketika Merah Putih tak lagi dianggap cukup mewakili perjuangan. ( Tim - Red)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update