CNews - Sorong, Papua Barat Daya — Pengadilan Negeri (PN) Sorong kini disorot tajam setelah menerima gugatan sengketa lahan dari PT Bagus Jaya Abadi (BJA) terhadap seorang warga bernama Hamonangan Sitorus, padahal perusahaan tersebut secara terang-terangan mengakui tidak memiliki legalitas atas lahan yang disengketakan.
Fakta mencengangkan itu terungkap dalam sidang mediasi yang digelar Senin, 26 Mei 2025. Dalam pernyataan terbuka kepada media, kuasa hukum PT BJA, Albert Frasstio, mengakui bahwa kliennya tidak memiliki satu pun dokumen kepemilikan tanah — tidak ada sertifikat Hak Milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), maupun Hak Guna Bangunan (HGB) atas objek sengketa.
📹 Video pernyataan resmi pengacara PT BJA tersedia di tautan ini:
https://youtu.be/k84i1t5ggHM?si=gD8NJESKCcc2IfP9
“Pernyataan ini menjadi bukti otentik bahwa PT BJA tidak punya alas hak apapun atas tanah yang mereka klaim. Ini preseden buruk dalam sistem hukum agraria,” tegas seorang sumber internal yang mengikuti seluruh proses persidangan sejak awal.
Gugatan Tanpa Sertifikat: Aneh Tapi Diterima Pengadilan
Penerimaan gugatan oleh PN Sorong atas dasar yang sangat lemah itu memicu kritik keras dari kalangan akademisi, pegiat hukum, dan masyarakat sipil. Banyak yang mempertanyakan integritas proses seleksi administratif perkara pertanahan di lembaga peradilan tersebut.
“Bagaimana mungkin pengadilan memproses sengketa kepemilikan tanah tanpa dokumen legal satu pun dari pihak penggugat? Ini bertentangan secara fundamental dengan prinsip asas legalitas dan kepastian hukum,” ujar seorang pakar hukum pertanahan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dalam hukum perdata Indonesia, klaim hak atas tanah wajib disertai bukti otentik, baik dalam bentuk sertifikat dari BPN maupun dokumen pelepasan hak yang sah. Tanpa itu, gugatan dianggap cacat formil dan substantif, serta berisiko menyesatkan proses peradilan.
Pendapat Para Pakar: Gugatan PT BJA Tidak Layak Secara Yuridis
Dr. Surya Darma, SH, MH, pakar hukum agraria dari Universitas Cendrawasih menegaskan:
“Gugatan atas tanah tanpa dasar legalitas hanya membuang-buang waktu pengadilan. Tidak bisa seseorang atau badan hukum mengklaim tanah tanpa alas hak. Jika tidak ada sertifikat, maka secara hukum tidak ada legitimasi untuk menggugat.”
Prof. Nurkholis Djunaedi, SH, LL.M, Ph.D, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia turut mengecam langkah ini:
“Gugatan ini tidak punya kekuatan hukum dan seharusnya ditolak sejak awal. Ini adalah celah penyalahgunaan proses litigasi oleh pihak korporasi untuk menekan pemilik sah.”
Julius Batlayeri, SH, advokat senior dan pemerhati hukum tanah di Tanah Papua, bahkan menyebut gugatan PT BJA sebagai “modifikasi perampasan tanah melalui jalur hukum”:
“Di Papua Barat Daya, banyak tanah adat belum tersertifikasi. Bila pengadilan menerima klaim sepihak dari pihak yang tidak punya dokumen formal, maka keadilan bisa berubah jadi instrumen kolonialisme baru.”
Mendesak Tindakan Tegas dari PN Sorong
Publik kini menantikan sikap tegas dari Majelis Hakim PN Sorong. Apakah pengadilan akan tetap melanjutkan proses gugatan yang jelas-jelas minim legalitas, ataukah akan mengembalikan marwah hukum dengan menolak gugatan tanpa dasar hukum?
Kasus ini menjadi alarm keras bagi sistem hukum Indonesia, bahwa celah hukum dalam perkara agraria masih sangat lebar, terutama di daerah yang rentan konflik lahan dan lemahnya pengawasan terhadap ekspansi modal.
“Negara tidak boleh tunduk pada klaim fiktif korporasi. Gugatan tanpa alas hak adalah bentuk intimidasi hukum terhadap pemilik sah. Ini harus dihentikan, demi keadilan dan keberlanjutan hak rakyat atas tanah mereka,” tutup Julius.
( Tim - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar