![]() |
Jakarta – Indonesia baru saja menuntaskan salah satu ritual tahunan terbesar: mudik dan arus balik Lebaran 2025. Jutaan orang pulang kampung, jalan tol lancar, sistem transportasi publik berjalan baik, dan pemerintah pun kebanjiran pujian. Menteri dipuja, aparat dipuji, jalur tol diganjar bintang keberhasilan. Namun, di balik gemerlap keberhasilan itu, ada satu aktor penting yang luput dari sorotan: media.
Tak satu pun institusi negara—termasuk Dewan Pers—menyuarakan penghargaan terhadap peran para jurnalis. Padahal, mereka bekerja tanpa kenal lelah, menyajikan informasi real-time soal titik kemacetan, jalur alternatif, posko kesehatan, hingga cuaca ekstrem yang berpotensi menghambat perjalanan. Ironisnya, di momen apresiasi, media justru dipinggirkan.
Dewan Pers Diam, Pers Ditinggalkan
“Dewan Pers lebih layak disebut Dewan Pecundang Pers,” kritik Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke dalam pesan terbuka kepada jaringan media, Minggu (14/4/2025). Ia menyayangkan sikap pasif lembaga yang seharusnya menjadi garda depan pembela insan pers, namun kini justru larut dalam euforia keberhasilan institusi lain.
"Tanpa media, publik buta. Tanpa jurnalis, tidak akan ada narasi kesuksesan mudik. Tapi yang diberi tepuk tangan hanya yang berseragam," tegas Lalengke.
Ia menambahkan, keberhasilan mudik 2025 adalah hasil kerja kolektif, termasuk masyarakat yang mulai sadar pentingnya menggunakan transportasi umum. Tapi, peran media yang mengedukasi publik itu tak disebut sama sekali. “Negara sedang menderita amnesia selektif: mengingat mereka yang ada di depan kamera, melupakan mereka yang ada di baliknya.”
Gelombang Kekecewaan dari Daerah
Kekecewaan terhadap pengabaian ini bukan hanya dirasakan di ibu kota. Dari berbagai penjuru Nusantara, suara kekecewaan mengalir deras.
Rian Wahyudi, jurnalis senior di Sumatera Selatan menulis pedas, “Kami bukan makhluk gaib. Di balik setiap update jalan tol dan buka-tutup jalur, ada jurnalis yang berdiri berjam-jam di bawah matahari. Tapi kami dianggap angin lalu.”
Maya Pratiwi, reporter daring dari Jawa Tengah, bahkan menyebut Dewan Pers sebagai lembaga “yang kehilangan nyali.” Menurutnya, “Jika Dewan Pers tak sanggup berdiri di depan membela profesi jurnalis, maka eksistensinya patut dipertanyakan.”
Di Kalimantan Timur, redaktur senior Damar Adityo menilai ini bukan kasus pertama. “Sudah berulang kali media dilupakan di setiap momen nasional. Tapi saat ada krisis, semua mencari kami. Ini bukan sekadar ironi, ini ketimpangan struktural,” ujarnya.
Rita Andani, jurnalis independen dari Sulawesi Selatan, memberi komentar tajam: “Media memudahkan tugas negara, tapi negara bahkan tak sudi menoleh. Ini penghinaan terhadap profesi kami.”
Mendambakan Pengakuan Setara
Fenomena ini memperlihatkan bahwa di balik wajah tenang para jurnalis, ada luka kolektif yang kian menganga. Mereka bukan menuntut panggung atau tepuk tangan, tapi penghargaan dan pengakuan yang layak atas kontribusi nyata dalam peristiwa nasional seperti mudik Lebaran.
Jika negara terus memuja hanya yang berseragam, dan melupakan yang memegang pena, mikrofon, dan kamera, maka jangan heran jika suatu saat media memutuskan untuk diam. Dan ketika itu terjadi, publik yang akan paling merasakan kehilangan.
Karena tanpa media, tak akan pernah ada narasi yang utuh tentang Indonesia. (SAD/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar