Oleh: Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar, SIK, SH, MH.
cnews- Jakarta - Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang untuk memberantas peredaran gelap narkotika serta memberikan rehabilitasi bagi penyalah guna. Namun, dalam implementasinya, muncul berbagai tantangan hukum, terutama terkait pemahaman dan pelaksanaan aturan oleh para penegak hukum, khususnya hakim.
Tujuan Penegakan Hukum
Pasal 4 UU Narkotika menetapkan dua tujuan utama:
- Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 4c).
- Menjamin rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna serta pecandu (Pasal 4d).
Pasal 103 UU ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika, sebagai langkah pemulihan daripada hukuman pidana.
Kesenjangan Penegakan Hukum
UU ini membedakan antara penyalah guna dan pengedar narkotika:
- Penyalah guna: Mendapatkan hukuman rehabilitasi medis maupun sosial.
- Pengedar: Dijatuhi hukuman pidana berat, termasuk perampasan aset hasil kejahatan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak penyalah guna yang dituduh sebagai pengedar. Dalam kasus tertentu, mereka didakwa berdasarkan Pasal 111 atau Pasal 112, meskipun seharusnya dilindungi Pasal 127 ayat 1 yang mengatur rehabilitasi. Praktik ini mencederai semangat UU untuk mengutamakan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan.
Kendala Hakim dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Pasal 103 memberikan fleksibilitas bagi hakim untuk memutuskan rehabilitasi. Namun, banyak hakim yang tidak memanfaatkan kewenangan tersebut, bahkan mengabaikan fakta hukum yang mendukung rehabilitasi.
SEMA No. 3 Tahun 2015 semakin memperburuk kondisi ini. Surat edaran tersebut menginstruksikan hakim memutus sesuai dakwaan jaksa, meskipun bertentangan dengan fakta di pengadilan. Hal ini mengesampingkan asas keadilan dan tujuan rehabilitasi yang seharusnya diutamakan UU.
Rekomendasi dan Penutup
Politik hukum yang diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 sebenarnya telah memberikan dasar yang kuat untuk menyeimbangkan penegakan hukum dengan perlindungan bagi korban penyalahgunaan narkotika. Sayangnya, implementasi aturan ini kerap menghadapi hambatan teknis, lemahnya pemahaman aparat, dan kebijakan yang tidak selaras.
Diperlukan langkah konkret untuk meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya agar memahami esensi hukum ini. Dengan demikian, tujuan pemberantasan narkotika sekaligus perlindungan terhadap korban penyalahgunaan dapat tercapai secara adil dan manusiawi.( Tim -Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar