Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

ZEITGEIST: SOEHARTO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL

Selasa, 18 November 2025 | Selasa, November 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-18T16:59:51Z
Poto: SOEHARTO 

Oleh: Laksamana Sukardi


CNEWSKebayoran Baru, Jakarta ---  Penetapan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali membangkitkan perdebatan klasik: bisakah seorang tokoh dengan rekam jejak kompleks tetap dijadikan simbol kepahlawanan?


Sejumlah teori sosiologi memori menjelaskan bahwa kepahlawanan selalu bersifat selektif dan periodik. Maurice Halbwachs (1950) dan Jan Assmann (2011) menegaskan bahwa memori kolektif tidak pernah menilai kehidupan seseorang secara keseluruhan. Yang diangkat adalah fase yang paling relevan bagi kebutuhan sosial dan politik suatu bangsa.


Karena itu sejarah dunia penuh contoh tokoh yang dipuji bukan karena hidupnya sempurna, tetapi karena momen kontribusinya:


  • George Washington diperingati sebagai Bapak Bangsa Amerika, meski memiliki budak.
  • Nelson Mandela dikenang atas perjuangan anti-apartheid, bukan periode radikalisme awalnya.


Benedict Anderson (1983) dalam teori nation-building menyatakan bahwa pahlawan dipilih untuk memperkuat identitas nasional—bukan karena kehidupannya tanpa cela.


Pertanyaan inti pun bergeser:
Bukan “Apakah ia sempurna?”, tetapi “Apakah ia berguna secara simbolik bagi negara hari ini?”
Logika ini berlaku untuk Soekarno, dan kini diperdebatkan kembali untuk Soeharto.


Reformasi yang Gagal Menyediakan Narasi Baru


Secara ironis, dukungan terhadap penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto justru mencerminkan kegagalan Reformasi—bukan keberhasilan Orde Baru semata.


Reformasi berhasil membuka kebebasan politik, tetapi gagal membangun narasi kebangsaan yang koheren dan mempersatukan. Perubahan institusi terjadi, tetapi cerita besar pengganti “pembangunan, ketertiban, dan stabilitas” Orde Baru tidak pernah lahir.


Setelah 1998, gerakan reformasi langsung terfragmentasi:


  • Nasionalis (Megawati Soekarnoputri)
  • Poros Tengah (Amien Rais)
  • Kelompok Islam nasionalis (Gus Dur)
  • Jaringan Orde Baru (Golkar dan ABRI)


Fragmentasi ini menciptakan vakum naratif, dan politik—seperti alam—tidak pernah menyukai kevakuman.
Akibatnya narasi Orde Baru kembali mengisi ruang kesadaran publik.


Bagi masyarakat luas, demokrasi dan kebebasan terasa abstrak;
sementara biaya hidup tinggi dan korupsi terasa konkret.


Bahkan, di era Reformasi:


  • Korupsi bukan hilang, tetapi bertransformasi menjadi kartel politik.
  • Transaksi jabatan marak.
  • Kekuasaan dijalankan dengan logika patronase.


Dalam kondisi seperti itu, nostalgia terhadap “ketertiban dan pembangunan” Orde Baru dengan cepat memperoleh kembali tempatnya di imajinasi publik.


Yang lebih pahit: para pemimpin Reformasi gagal menghasilkan simbol, karya budaya, atau narasi ikonik yang dapat menandingi kekuatan propaganda pembangunan Orde Baru.
Sebagian bahkan ikut terserap ke dalam jaringan patronase baru — menciptakan feodalisme modern.


Inilah mengapa dukungan terhadap penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak lagi mendapat resistensi besar, kecuali dari PDIP dan Megawati yang masih bertumpu pada warisan Soekarno.


Pemimpin Reformasi yang Menjadi “Kedaluwarsa”


Secara teori, fenomena ini dijelaskan oleh sejumlah pemikir besar:


1. Teori Pergantian Generasi (Ronald Inglehart)


Generasi baru memiliki nilai, aspirasi, dan referensi politik berbeda dari generasi yang menyaksikan langsung keruntuhan Orde Baru.
Bagi mereka, tokoh sentral Reformasi terlihat:


  • tidak relevan,
  • terputus dari dinamika zaman,
  • dan gagal menjawab aspirasi kelas menengah baru.


2. Political Decay – Samuel P. Huntington


Ketika institusi politik gagal menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, terjadilah pembusukan politik.
Partai-partai era Reformasi:


  • tidak adaptif,
  • tidak inovatif,
  • dan kehilangan legitimasi.


3. Iron Law of Oligarchy – Robert Michels


Organisasi yang dikuasai kelompok elite terlalu lama akan menjadi kaku dan hanya bekerja untuk mempertahankan diri.
Partai politik hasil Reformasi terjebak dalam lingkaran:


  • dinasti politik,
  • oligarki,
  • dan pemusatan kekuasaan.


Dengan institusi yang tidak berkembang dan pemimpin yang kehilangan otoritas moral, nostalgia terhadap Soeharto muncul sebagai alternatif simbolik — bukan karena masa kelamnya terlupakan, tetapi karena narasi penggantinya tidak pernah dibangun.


Kesimpulan: Membaca “Semangat Zaman”


Menurut kerangka teori sosial-politik, kemunduran pengaruh pemimpin Reformasi dan menguatnya kembali simbol-simbol Orde Baru adalah fenomena political obsolescence—keusangan politik akibat kegagalan membaca dan mengikuti zeitgeist.


Dalam konteks kepahlawanan, bangsa ini perlu belajar bahwa:


  • Pahlawan bukan malaikat,
  • Manusia tetap kompleks,
  • Dan sejarah selalu memilih fase, bukan totalitas hidup.


Seperti sebuah gelas setengah berisi air:
keduanya benar—setengah penuh atau setengah kosong.
Namun pilihan perspektif menentukan arah optimisme kolektif bangsa.( Red)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update