CNEWS — Jakarta, Rabu 19 November 2025. Kemarahan publik tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari akumulasi janji yang dinilai tak ditepati, kebijakan yang dianggap menyimpang, serta berbagai tindakan politik yang dipersepsikan merusak keadilan publik. Di tengah meningkatnya ketidakpuasan nasional, sorotan terbesar kini mengarah pada Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Di berbagai daerah, kelompok masyarakat sipil, akademisi, aktivis, tokoh politik, hingga organisasi mahasiswa mulai menyuarakan tuntutan agar Jokowi dimintai pertanggungjawaban politik, moral, dan hukum atas rangkaian polemik selama masa pemerintahannya. Gelombang ini meluas dan menjadi tekanan publik yang tak bisa lagi diabaikan.
I. Runtuhnya Pencitraan dan Kembalinya Kritik Publik
Pada periode awal kepemimpinannya, Jokowi dipuji sebagai pemimpin sederhana, dekat dengan rakyat, dan simbol perubahan. Namun setelah satu dekade memimpin, narasi itu terbelah oleh realitas politik yang dinilai bertolak belakang.
Sejumlah kelompok masyarakat menilai Jokowi:
- Mengingkari janji anti-dinasti, karena keluarganya naik ke panggung politik melalui keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi.
- Menggunakan instrumen negara secara represif, termasuk penindakan terhadap warga yang mempertanyakan keabsahan dokumen pribadi presiden.
- Menggunakan retorika publik sebagai alat menutupi kegagalan kebijakan, bukan sebagai ruang pertanggungjawaban.
Menurut para pengamat, hilangnya bobot moral seorang pemimpin menciptakan efek domino: birokrasi kehilangan arah, hukum kehilangan wibawa, dan publik kehilangan rasa percaya.
II. Pembengkokan Tata Hukum dan Kemunduran Demokrasi
Sejumlah akademisi hukum, mantan pejabat negara, hingga lembaga pemantau demokrasi menyebut masa pemerintahan Jokowi sebagai periode penuh regresi dalam tata kelola negara.
1. Mahkamah Konstitusi dalam Sorotan Publik
Keputusan MK terkait batas usia calon kepala daerah yang dinilai menguntungkan keluarga presiden memicu kritik luas. Banyak pihak menilai langkah itu sebagai sinyal kuat bahwa konstitusi telah dijadikan alat politik.
2. Pola Kriminalisasi Kritik
Organisasi HAM mencatat peningkatan tajam penindakan terhadap:
- aktivis pergerakan,
- pengkritik pemerintah di media sosial,
- pembuat konten satir atau meme,
- mahasiswa dan tokoh yang menuntut transparansi.
Kritik diperlakukan sebagai ancaman negara, padahal merupakan fondasi demokrasi.
3. Merosotnya Marwah Penegak Hukum
Sejumlah kasus strategis berhenti tanpa kejelasan, sementara aparat bergerak cepat pada kasus yang dinilai menyentuh kepentingan kekuasaan. Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa hukum telah kehilangan sifat imparsialnya.
III. Lonjakan Korupsi dan Kekacauan Birokrasi
Periode kedua pemerintahan Jokowi diwarnai berbagai skandal di kementerian besar: dari bansos, tataniaga pangan, pertanian, hingga proyek-proyek strategis. Publik menilai:
- banyak pejabat dipilih atas dasar kedekatan politik, bukan kompetensi;
- budaya korupsi semakin sistemik;
- pelayanan publik merosot di tengah masifnya belanja pencitraan.
“Bagi rakyat, korupsi itu bukan wacana. Mereka merasakannya lewat harga sembako, biaya pendidikan, dan antrean rumah sakit,” papar seorang ekonom kebijakan publik.
IV. Pengelolaan SDA dan Proyek IKN Dihantam Kritik Tajam
Kebijakan sumber daya alam dan mega-proyek Ibu Kota Nusantara menjadi isu paling kontroversial sepanjang pemerintahan Jokowi.
1. Ekspansi Tambang dan Sawit
Aktivis lingkungan mencatat lonjakan izin tambang, deforestasi, konflik agraria, dan penggusuran masyarakat adat. Banyak kasus dinilai tidak mendapatkan penyelesaian yang adil.
2. Impor Pangan di Negeri Kaya Lahan
Ketergantungan impor garam, jagung, dan beras dipertanyakan publik. Catatan lapangan menunjukkan kondisi tidak sejalan dengan klaim swasembada.
3. Ibu Kota Nusantara (IKN)
IKN dipandang sebagai proyek prestisius yang lebih menguntungkan pemodal besar. Konsesi lahan dalam skala luas, beban fiskal, dan minimnya manfaat langsung bagi masyarakat membuat proyek ini dikritik sebagai “simbol prioritas elit”.
V. Oligarki Menguat, Partai Melemah, Rakyat Dipinggirkan
Laporan berbagai lembaga kajian menunjukkan bahwa era Jokowi ditandai dengan menguatnya oligarki ekonomi-politik. Kebijakan strategis dinilai lebih menguntungkan segelintir kelompok, sementara partai politik kehilangan fungsi sebagai institusi demokrasi.
Ketika ruang rakyat menyempit, ketika kebijakan diputuskan oleh lingkar kecil elite, kemarahan publik menjadi konsekuensi tak terelakkan.
VI. Mengapa Publik Mendesak Pertanggungjawaban?
Tuntutan publik agar Jokowi dimintai pertanggungjawaban bukan sekadar luapan frustrasi. Ini adalah seruan:
- untuk akuntabilitas atas kebijakan yang dinilai menyimpang,
- untuk evaluasi menyeluruh terhadap praktik pembengkokan demokrasi,
- untuk pemulihan moral negara,
- untuk memastikan preseden buruk tidak diwariskan pada generasi berikutnya.
Menurut sejumlah tokoh masyarakat, proses pertanggungjawaban dapat dilakukan melalui:
- pengungkapan fakta secara terbuka,
- audit kebijakan strategis,
- penyelidikan lembaga berwenang jika ditemukan unsur pelanggaran,
- pemulihan norma demokrasi dan etika konstitusional.
“Kemarahan rakyat bukan soal kebencian—ini soal keadilan yang tertunda. Negara harus kembali ke rel demokrasi, dan pertanggungjawaban adalah pintu masuknya,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang terlibat dalam aksi moral nasional. ( Tim/RI)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar