![]() |
| Poto: Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, |
CNEWS, Jakarta, 18 November 2025 — Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan anggota Polri aktif mundur atau pensiun jika menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut untuk perwira yang sudah menjabat sebelum putusan tersebut. Pernyataan itu disampaikan usai rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan.
“Putusan MK itu wajib kita jalankan, tetapi itu tidak berlaku surut,” kata Supratman.
“Artinya bagi semua pejabat Polri yang sudah terlanjur menjabat, tidak wajib untuk mengundurkan diri … kecuali atas dasar kesadaran Polri untuk menarik anggotanya dari kementerian.”
Namun, menurut dia, putusan tetap “sangat relevan” untuk masa depan. Polisi aktif yang akan diusulkan menempati jabatan sipil baru — terutama jika tugasnya tidak berkaitan langsung dengan fungsi Polri — harus mundur atau pensiun.
Supratman bahkan membuka wacana revisi UU Polri untuk mengatur lebih jelas lembaga-lembaga sipil mana yang “masih punya sangkut-paut” dengan tugas kepolisian. Menurutnya, modelnya bisa meniru UU TNI, di mana ada daftar kementerian/lembaga tertentu yang boleh diisi anggota aktif TNI.
Respons dan Keraguan di Kalangan Pakar & Lembaga
Pernyataan Menkum ini langsung memicu reaksi dari berbagai pihak:
- Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) menegaskan bahwa putusan MK harus dipatuhi sepenuhnya oleh Polri dan lembaga lain yang melibatkan anggota Polri aktif di jabatan sipil.
- Namun, pakar hukum tata negara berbeda pendapat. Dr. Aan Eko Widiarto (UB) menyatakan bahwa MK sudah sangat tegas: penghapusan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” di Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri menutup celah selama ini, sehingga anggota Polri aktif harus mundur atau pensiun jika diusulkan ke jabatan sipil.
- Sebaliknya, Prof. Susi Dwi Harijanti (UNPAD) berpendapat putusan MK “serta-merta berlaku” dan menyatakan bahwa perwira Polri yang masih aktif di jabatan sipil “harus pilih”: tetap jadi Polri atau mundur.
Titik Ketegangan: Harmonisasi Putusan dan Realitas Lembaga
Dari sudut analisis, pernyataan Supratman membuka dua interpretasi penting:
-
Aspek Reformasi Polri
- Dengan menyebut akan ada “Komisi Percepatan Reformasi Polri” yang mengevaluasi lembaga mana saja yang boleh diisi polisi aktif, Supratman berpotensi mendorong Polri menjadi lebih profesional dan fokus pada tugas utamanya.
- Revisi UU Polri bisa memberi kepastian hukum bagi pola penempatan polisi di luar korps, sehingga tidak lagi ambigu.
-
Potensi Celah Kepatuhan
- Jika perwira yang sudah menjabat sipil sekarang tidak diwajibkan mundur, ini bisa dipandang sebagai “kompromi” politis, bukan penerapan penuh putusan konstitusi.
- Hal ini bisa memicu kritik: mengapa “masa lalu” dikecualikan? Apakah ini memberi toleransi atas praktik yang dikecam MK?
- Ada risiko ketidakselarasan antara putusan MK (yuridis-konstitusional) dengan implementasi di lapangan jika Polri dan pemerintah memilih menarik sebagian tapi tidak semuanya.
Implikasi Politik dan Hukum
- Bagi Polri: Keputusan Supratman memberi ruang manuver, tetapi juga tantangan untuk menyusun sistem seleksi yang transparan bagi polisi yang ingin masuk jabatan sipil.
- Bagi reformasi birokrasi: Ini bisa jadi momentum untuk menyangga pondasi reformasi struktural Polri, agar posisi sipil yang pernah diduduki polisi aktif dievaluasi ulang berdasarkan relevansi tugas.
- Bagi publik & akuntabilitas: Kejelasan kriteria lembaga mana saja yang “dibenarkan” untuk diisi polisi aktif menjadi semakin penting agar tidak muncul kesan nepotisme atau tumpang tindih kewenangan.
- Bagi konstitusi: Perdebatan ini juga meneguhkan peran MK sebagai pengawal norma konstitusi di tengah kompleksitas hubungan Polri dengan birokrasi sipil.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar