CNEWS, SIBOLGA, SUMATERA UTARA — Hujan deras tanpa jeda mengguyur wilayah Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Kota Sibolga. Dalam hitungan jam, debit sejumlah sungai—Sungai Jujur, Sungai Pinangsori, dan aliran Batang Toru—melonjak tajam. Banjir bandang pun tak terhindarkan. Namun bencana kali ini membawa sesuatu yang lebih menakutkan dari sekadar air bah: gelondongan kayu besar, sebagian sebesar tiang listrik, menghantam jembatan, rumah, dan lahan pertanian warga.
Warga tersentak. Publik mempertanyakan hal paling mendasar namun paling penting:
dari mana asal kayu-kayu raksasa itu?
Banjir Tak Lazim, dan Kayu Tak Pernah Datang dari Langit
Warga Desa Anggoli—wilayah perbatasan Tapteng–Tapanuli Selatan—menjadi saksi pertama jauhnya anomali ini. Air bah datang bukan hanya membawa lumpur, tapi juga kayu-kayu besar yang masih segar, bukan kayu lapuk yang hanyut dari kejadian lama.
“Air bah datang bawa kayu besar-besar, bukan ranting kecil. Ini jelas dari hutan atas,” kata Parlindungan, warga Anggoli.
Pantauan warga yang direkam dan dikirim ke media menunjukkan puluhan batang kayu bulat tersangkut di Jembatan Anggoli dan di sekitar aliran Sungai Bolontukka. Teksturnya masih bersih, kulitnya masih utuh—tanda kuat bahwa batang itu ditebang baru-baru ini.
“Banjir boleh dari langit. Tapi gelondongan kayu tidak pernah jatuh dari awan,” ujar seorang aktivis dari Tapteng.
Hulu yang Gundul, Tambang yang Merajalela
Investigasi awal tim media menemukan pola bencana yang sangat jelas. Di kawasan hulu Tapteng–Tapsel—meliputi Desa Bolontukka, Kecamatan Lumut, hingga perbukitan hulu Batang Toru—terdapat jejak:
- penebangan liar,
- tumpukan kayu tebangan,
- galian tambang emas ilegal,
- serta bukit-bukit yang dipreteli tanpa izin.
Seorang aktivis lingkungan Sumatera Utara mengatakan telah berulang kali menerima laporan warga soal aktivitas ilegal ini.
“Lubang tambang dibuka seenaknya. Hutan ditebang tanpa pengawasan. Begitu hujan deras, tanah runtuh, lalu air membawa semua material itu ke bawah,” ujarnya.
Data pemantauan hutan yang dikutip dari pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Sei Ular memperlihatkan penyusutan tutupan hutan alami di kawasan Batang Toru:
- 2020: 61%
- 2024: 52%
Hilang 9% dalam empat tahun.
Dengan daya serap hilang dan struktur hulu rusak, hujan ekstrem sedikit saja sudah cukup memicu banjir bandang. Namun keberadaan gelondongan kayu segar menandakan sesuatu yang lebih serius: ada penebangan aktif yang terjadi menjelang bencana.
Respons Pemerintah: Menyalahkan Cuaca, Mengabaikan Akar Masalah
Pemerintah Daerah Setempat , dalam pernyataan sebelumnya menyebut curah hujan ekstrem sebagai penyebab banjir bandang.
Namun komentar itu langsung menuai kritik.
“Kalau hujan yang disalahkan, lalu kayu-kayu besar itu dari mana? Apa hujan yang menebang pohon?” kata seorang warga Pinangsori.
Aktivis lingkungan mendesak Gubernur Sumut Bobby Nasution turun langsung meninjau hulu tiga kabupaten—Tapteng, Tapsel, dan Taput—serta membuka audit izin konsesi hutan dan pertambangan.
“Hulu Batang Toru itu jantung ekologi tiga kabupaten. Harus diperiksa, jangan hanya konferensi pers,” tegas aktivis Kh. R. Syahputra C.EJ., C.In., CN., C.BJ.
Kegagalan Pengawasan dan Skandal Kebijakan
Hingga kini, belum ada respons hukum terhadap pihak-pihak yang dicurigai melakukan penebangan liar, padahal kayu gelondongan hanyut adalah bukti fisik yang sangat mudah ditelusuri.
“Kalau aparat serius, tinggal dicocokkan ukuran dan jenis kayunya dengan titik tebangan,” ujar seorang warga sumber lapangan.
Sumber lainnya menyebut bahwa penanganan lamban karena “banyak pihak yang diduga ikut terlibat.”
Beberapa informasi yang di kutip dari masyarakat adalah izin perusahaan kayu di Taput dan Tapsel sejak 2022 juga diduga tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung. Namun tak ada kejelasan tindak lanjut dari Kementerian LHK.
“Ini bukan sekadar bencana alam. Ini kegagalan pengawasan secara struktural,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Duka di Hilir, Bukti di Hulu
Sedikitnya enam warga meninggal dunia dan ratusan keluarga harus mengungsi dari Kecamatan Lumut, Pinangsori, hingga Sibolga Selatan. Rumah hanyut, jembatan rusak berat, dan sawah tertimbun lumpur.
Namun lebih dari itu, warga kehilangan rasa aman terhadap alam yang selama ini mereka jaga.
“Kalau sungai sudah bicara jujur begini, berarti manusia sudah terlalu lama berbohong,” kata seorang warga saat meninjau lokasi.
Sungai yang Jujur, Pemerintah yang Lalai
Nama Sungai Jujur kini terasa seperti ironi yang menyakitkan. Ia benar-benar jujur—mengungkap:
- batang kayu hasil tebangan liar,
- bekas longsoran tambang,
- dan wajah pemerintah yang lamban bertindak.
Air hanyut, kayu hanyut, dan kini wibawa pemerintah ikut hanyut pula.
Redaksi akan melanjutkan investigasi mendalam terhadap asal-usul gelondongan kayu, peta dugaan jaringan pembalakan dan pertambangan ilegal, serta menunggu hasil audit lingkungan resmi dari Kementerian LHK.
Penelusuran lanjutan akan mencakup wilayah hulu di tiga kabupaten: Taput, Tapsel, dan Tapteng, mengingat ketiganya terhubung melalui ekosistem Batang Toru. ( Tim/Red)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar