CNEWS — Mantan Kepala BNN sekaligus pakar hukum narkotika, Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar, kembali mengkritisi salah kaprah penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika di Indonesia. Melalui unggahan terbarunya di Instagram, ia menilai bahwa praktik pemidanaan terhadap pecandu dan penyalah guna—termasuk sejumlah figur publik seperti Farisz RM, Ammar Zoni, Rhido Rhoma, Nia Ramadhani, dan Catherine Wilson—merupakan bentuk penegakan hukum yang bertentangan dengan mandat Undang-Undang Narkotika.
Menurut Anang, penyalah guna secara medis adalah orang sakit adiksi yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban penuh atas perbuatannya. Karena itu, UU Narkotika telah menetapkan bahwa penyalah guna dikriminalkan untuk tujuan intervensi, namun tidak untuk dipidana, melainkan wajib direhabilitasi agar tidak kembali mengalami kekambuhan (relapse).
Penyalah Guna Adalah Pasien, Bukan Kriminal
Anang menegaskan bahwa kebijakan negara sangat jelas: penyalah guna adalah subjek perlindungan, bukan pelaku kejahatan yang harus dijebloskan ke penjara. Mereka secara hukum wajib ditempatkan ke dalam Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), berupa rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah.
Sebaliknya, kata Anang, penegakan hukum yang keras, represif, dan berorientasi pada keamanan hanya tepat dikenakan kepada pengedar dan jaringan peredaran gelap narkotika, bukan kepada pengguna yang sebenarnya membutuhkan perawatan.
“Balance approach adalah keharusan, bukan pilihan. Penegak hukum harus membedakan secara tegas antara pecandu dan pengedar,” ujar Anang.
Ia menegaskan bahwa keadilan substantif hanya akan terwujud apabila penegakan hukum terhadap penyalah guna berlandaskan asas perlindungan, pengayoman, kemanusiaan, dan ilmu pengetahuan, sementara penanganan pengedar harus berbasis ketertiban, keamanan, dan kepastian hukum.
UU Narkotika Sudah Sediakan Mekanisme Khusus: RJS, Bukan CJS
Anang menyoroti bahwa aparat penegak hukum selama ini keliru menggunakan Criminal Justice System (CJS) untuk menangani penyalah guna, padahal UU telah menyediakan mekanisme khusus bernama Rehabilitative Justice System (RJS).
RJS dirancang sebagai sistem peradilan cepat, sederhana, tidak berbelit, berbiaya murah, dan berorientasi pada penyelamatan manusia. Dengan demikian, proses pengadilan tidak lagi menjadi jalur utama, melainkan rehabilitasi medis dan sosial.
“Ketika ribuan penyalah guna saat ini memenuhi penjara, itu bukan keberhasilan penegakan hukum, tetapi indikasi kesalahan implementasi,” tegasnya.
Reformasi Penegakan Hukum Harus Menjadi Prioritas Nasional
Anang memperingatkan bahwa tanpa koreksi kebijakan yang serius, Indonesia berisiko memasuki 2045 sebagai pasar narkotika terbesar dan menghasilkan generasi yang rentan adiksi.
Ia mendesak pemerintah untuk:
- menerapkan penegakan hukum rehabilitatif bagi penyalah guna,
- memperkuat tindakan represif terhadap pengedar dan jaringan peredaran gelap,
- mengawasi secara ketat kepatuhan aparat terhadap amanat UU Narkotika,
- serta memperluas fasilitas IPWL di seluruh daerah.
Reformasi penegakan hukum narkotika, menurut Anang, bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal masa depan bangsa.
“Penyalah guna harus diselamatkan, bukan dikorbankan,” ungkapnya. ( Red)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar