Jimly Asshiddiqie Tegaskan Komisi dan Tim Reformasi Polri Tak Perlu Dipertentangkan: “Gerakan Moral Nasional untuk Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Polri”

"Kepercayaan Yang Diuji: Pelayanan Publik dan Hubungan Polri dengan Media di Era Reformasi"

CNEWS, Jakarta — Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Prof. Jimly Asshiddiqie, menegaskan bahwa keberadaan Komisi Reformasi Polri yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto dan Tim Transformasi Reformasi Polri bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak boleh dipertentangkan.

Menurutnya, kedua lembaga ini lahir dari satu semangat yang sama, yakni menjawab krisis kepercayaan publik terhadap Polri dan mempercepat perbaikan internal yang selama ini berjalan lamban.

“Jangan dipertentangkan. Komisi dan tim Kapolri itu dua sayap dari satu burung. Satu bekerja dari dalam, satu dari luar. Tujuannya sama: membenahi Polri agar menjadi institusi yang profesional, humanis, dan dipercaya rakyat,” tegas Jimly dalam pernyataannya, Kamis (7/11/2025).

 

Konteks: Krisis Kepercayaan Publik dan Desakan Reformasi

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian oleh Presiden Prabowo merupakan jawaban atas desakan luas masyarakat sipil terhadap berbagai persoalan serius di tubuh Polri.
Selama beberapa tahun terakhir, kepolisian menghadapi gelombang kritik akibat:

• Penyalahgunaan wewenang dalam proses hukum, termasuk kriminalisasi wartawan dan aktivis.
• Maraknya pungli dan suap dalam penanganan kasus di berbagai wilayah.
• Kekerasan aparat di lapangan yang menimbulkan korban masyarakat sipil.
• Kinerja penegakan hukum yang dianggap diskriminatif dan tidak transparan.

Situasi ini menimbulkan defisit kepercayaan publik, yang jika tidak segera dibenahi, berpotensi menggerus legitimasi Polri sebagai lembaga penegak hukum utama di republik ini.

“Krisis kepercayaan publik itu nyata. Dan karena itu, reformasi tidak cukup hanya dengan pergantian pejabat atau operasi penindakan. Harus sistemik dan menyentuh akar persoalan,” ujar Jimly.

Pembagian Tugas: Komisi Independen dan Tim Internal

Jimly menjelaskan, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian memiliki mandat langsung dari Presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur, kebijakan, dan kultur Polri, termasuk menelaah:

1. Struktur organisasi Polri, dari tingkat Mabes hingga Polsek.
2. Sistem pendidikan dan rekrutmen, agar tidak diskriminatif dan bebas pungli.
3. Mekanisme penegakan disiplin dan etik, agar tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
4. Hubungan fungsional Polri dengan pemerintah dan lembaga penegak hukum lain.
5. Pola anggaran dan akuntabilitas keuangan agar sesuai prinsip good governance.

Sementara Tim Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan melaksanakan pembenahan manajemen internal, mulai dari rotasi jabatan, penataan sistem penilaian kinerja, hingga revisi prosedur pengawasan di Propam dan Itwasum.

“Tim Kapolri memperbaiki dari dalam, komisi bekerja dari luar dengan pendekatan hukum, akademik, dan moral. Jadi ini bukan dua kekuatan yang saling bersaing, melainkan bersinergi,” tegas Jimly.

 

Langkah Konkret Komisi: Audit, Rekomendasi, dan Konsultasi Nasional

Dalam waktu dekat, Komisi yang beranggotakan pakar hukum, sosiolog, mantan pejabat penegak hukum, dan tokoh masyarakat itu akan melakukan audit kelembagaan Polri di lima bidang utama:

1. Rekrutmen dan pendidikan — menelusuri dugaan praktik suap dan nepotisme dalam penerimaan Bintara dan Perwira.
2. Penegakan hukum dan penyidikan — meninjau ulang independensi penyidik dan mekanisme penentuan status tersangka.
3. Etika profesi dan pengawasan internal — memeriksa efektivitas Divpropam dalam menindak pelanggaran anggota.
4. Pelayanan publik dan transparansi informasi — mengukur tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat.
5. Hubungan Polri dengan media dan masyarakat sipil — menilai sejauh mana kebebasan pers dijamin oleh aparat.

Selain itu, Komisi juga akan membuka kanal pengaduan publik nasional, agar masyarakat bisa menyampaikan keluhan, bukti penyimpangan, atau saran langsung tanpa rasa takut.

“Kami akan undang akademisi, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk ikut mengawasi. Ini harus menjadi gerakan moral kolektif bangsa,” ujar Jimly.

 

Kemungkinan Revisi UU Kepolisian

Salah satu agenda strategis Komisi adalah evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Jimly menilai, banyak ketentuan dalam undang-undang tersebut yang sudah tidak relevan dengan tuntutan demokrasi modern dan prinsip negara hukum.

“Kalau hasil evaluasi menunjukkan perlunya revisi undang-undang, maka itu akan kita rekomendasikan kepada Presiden dan DPR. Reformasi sejati tak boleh berhenti pada struktur, harus menyentuh hukum dasarnya,” jelasnya.

 

Salah satu wacana yang muncul adalah pemulihan keseimbangan kekuasaan sipil atas kepolisian, serta penguatan lembaga pengawas eksternal independen yang sejajar dengan Kompolnas.

Tantangan: Resistensi Internal dan Kepentingan Politik

Namun jalan reformasi Polri tidak akan mudah. Berdasarkan catatan internal, ada resistensi dari sebagian pejabat Polri aktif dan purnawirawan yang menilai pembentukan komisi ini sebagai bentuk intervensi sipil terhadap institusi.

Sebagian pihak khawatir evaluasi komisi akan mengungkap praktik korupsi struktural, seperti jual-beli jabatan, proyek pengadaan peralatan, dan manipulasi perkara.

Sementara di sisi politik, reformasi Polri juga bersinggungan dengan kepentingan elite dan partai, mengingat posisi Polri sering digunakan dalam dinamika kekuasaan dan ekonomi lokal.

Jimly menegaskan, komisinya akan bekerja independen dan profesional, tanpa intervensi politik maupun tekanan dari pihak mana pun.

 

“Kita tidak bekerja untuk pemerintah, partai, atau institusi. Kita bekerja untuk bangsa. Reformasi Polri ini bukan proyek politik, ini amanah moral dan konstitusional,” tegasnya.

 

Harapan Nasional: Polri yang Berintegritas dan Melayani

Jimly berharap seluruh pihak, termasuk Kapolri, pejabat internal, dan masyarakat luas, mendukung langkah reformasi ini secara terbuka. Menurutnya, reformasi Polri bukan hanya kepentingan institusi, tetapi agenda moral negara untuk menegakkan kembali prinsip equality before the law.

“Kalau Polri kuat tapi tidak dipercaya rakyat, itu bukan kekuatan. Kita ingin Polri yang berwibawa karena integritas dan kejujurannya, bukan karena senjata atau jabatan,” tutup Jimly.

 

Catatan Redaksi

Langkah awal Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian ini menjadi tonggak penting reformasi sektor keamanan pasca 1998, setelah dua dekade stagnasi dan munculnya kembali praktik otoritarianisme hukum.
Jika berjalan konsisten, kerja komisi ini bisa membuka jalan bagi pembaruan undang-undang, penataan kelembagaan, serta rekonstruksi etika kepolisian modern berbasis hak asasi manusia dan transparansi publik.( RI/Red) 

---

Trust on Trial: Public Service and Police Relations with the Media in the Era of Reform

CNEWS, Jakarta — The Chair of the Commission for Accelerating Police Reform, Prof. Jimly Asshiddiqie, emphasized that the existence of the Police Reform Commission, established by President Prabowo Subianto, and the Police Reform Transformation Team, formed by National Police Chief General Listyo Sigit Prabowo, should not be seen as conflicting entities.

According to Jimly, both bodies were born from the same spirit — to address the crisis of public trust in the National Police (Polri) and to accelerate long-overdue institutional reforms.

 

“They should not be opposed. The commission and the Police Chief’s team are like two wings of the same bird — one works from within, the other from outside. Their mission is the same: to rebuild Polri into a professional, humanist, and trustworthy institution,” Jimly said in a statement on Thursday (November 7, 2025).

 

Context: Public Distrust and the Urgent Call for Reform

The establishment of the Commission for Accelerating Police Reform by President Prabowo came as a direct response to growing civil society pressure over systemic problems within Polri.

In recent years, the police have faced intense criticism due to:

• Abuse of authority in law enforcement, including the criminalization of journalists and activists.
• Pervasive bribery and extortion in case handling across various regions.
• Police brutality and excessive force resulting in civilian casualties.
• Perceived bias and lack of transparency in the administration of justice.

These issues have led to a deficit of public trust, which, if left unaddressed, could undermine Polri’s legitimacy as the country’s principal law enforcement body.

“The crisis of public trust is real. Reform cannot rely on personnel changes or disciplinary operations alone. It must be systemic and tackle the roots of the problem,” Jimly asserted.

 

Division of Roles: Independent Commission and Internal Reform Team

Jimly explained that the Commission for Accelerating Police Reform has a direct presidential mandate to conduct a comprehensive evaluation of Polri’s structure, policies, and culture, focusing on:

1. Organizational structure, from headquarters (Mabes Polri) down to local precincts (Polsek).
2. Education and recruitment systems, ensuring they are merit-based and free from corruption.
3. Discipline and ethics enforcement, ensuring accountability applies equally to all ranks.
4. Functional relations between Polri, the government, and other law enforcement institutions.
5. Budget management and financial accountability, in line with good governance principles.

Meanwhile, the Police Reform Transformation Team led by General Listyo Sigit Prabowo will implement internal managerial reforms, such as personnel rotation, performance assessment systems, and the revision of internal oversight mechanisms within the Inspectorate and Professional Standards Divisions (Itwasum and Propam).

“The Police Chief’s team repairs the system from within, while the commission evaluates it from the outside through legal, academic, and moral approaches. This is not rivalry — it’s synergy,” Jimly emphasized.

 

Concrete Steps: Institutional Audit, Policy Recommendations, and National Consultation

In the coming months, the Commission — composed of legal experts, sociologists, former law enforcement officials, and civil society figures — will conduct an institutional audit of Polri in five key areas:

1. Recruitment and education — investigating alleged bribery and nepotism in officer admissions.
2. Law enforcement and investigation — reviewing the independence of investigators and procedures for determining suspects.
3. Professional ethics and internal supervision — assessing the effectiveness of Propam in enforcing discipline.
4. Public service and information transparency — measuring public satisfaction and trust levels.
5. Relations with the media and civil society — evaluating the extent of press freedom guaranteed by police authorities.

The commission also plans to open a national public complaints channel, enabling citizens to report misconduct, submit evidence, or offer suggestions safely and directly.

“We will involve academics, journalists, and civil society organizations in the oversight process. This must become a collective moral movement for the nation,” Jimly declared.

Possible Revision of the Police Law

One of the commission’s strategic agendas is the evaluation of Law No. 2 of 2002 on the National Police. Jimly noted that many provisions in the law are no longer aligned with modern democratic principles and the rule of law.

“If our evaluation shows that amendments are necessary, we will recommend them to the President and the Parliament. True reform must go beyond structure — it must reach the foundation of the law itself,” he stated.

 

Emerging proposals include restoring civilian oversight over the police and strengthening external, independent watchdog bodies parallel to the existing National Police Commission (Kompolnas).

Challenges: Internal Resistance and Political Interests

.

However, the road to reform will not be easy. Internal reports indicate resistance from active and retired police officials who perceive the commission as a form of civilian interference in police affairs.

Some fear that the commission’s findings could expose structural corruption, such as the sale of positions, procurement irregularities, and case manipulation.

On the political side, police reform often collides with elite and partisan interests, as Polri has long been entangled with local power and economic networks.

Jimly insisted that his commission would remain independent and professional, free from political pressure or institutional influence.

“We don’t work for the government, parties, or institutions. We work for the nation. Police reform is not a political project — it’s a moral and constitutional mandate,” he stressed.

 

National Hope: Building a Police Force of Integrity and Service

Jimly expressed hope that all stakeholders — including the Police Chief, internal officers, and the public — will support this reform process transparently and collectively.

According to him, the reform of Polri is not merely an institutional necessity but a moral state agenda to restore the principle of equality before the law.

“A strong police force without public trust is not true strength. We need a police institution respected for its integrity and honesty, not for its weapons or power,” Jimly concluded.

Editor’s Note

The establishment of the Commission for Accelerating Police Reform marks a historic milestone in Indonesia’s post-1998 security sector reform, after two decades of stagnation and the resurgence of authoritarian legal practices.

If executed consistently, the commission’s work could pave the way for comprehensive legal reforms, institutional restructuring, and the reconstruction of ethical policing grounded in human rights and public transparency.

(RI/Red)