Foto: Wilson Lalengke saat disambut pejabat PBB di lobi Millennium Hilton New York One UN Plaza.
CNEWS | NEW YORK CITY — Suasana senja di Manhattan, Senin (6/10/2025), seakan menyambut kedatangan seorang putra bangsa yang membawa pesan nurani dari Timur. Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), akhirnya tiba di New York City setelah menempuh perjalanan udara selama 23 jam menggunakan Etihad Airways.
Kedatangannya bukan sekadar perjalanan diplomatik, melainkan misi moral global — untuk menembus dinding kebisuan dunia melalui mimbar Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Forum strategis ini dikenal membahas isu-isu krusial: dekolonisasi, hak asasi manusia, perdamaian internasional, dan tanggung jawab moral antarbangsa. Dalam forum inilah, Wilson akan menyampaikan pidato yang digadang menjadi salah satu suara paling keras dari Asia Tenggara terkait diamnya komunitas internasional terhadap tragedi kemanusiaan global.
“Dunia boleh diam, tapi kita tidak. Keadilan tidak boleh ditukar dengan diplomasi,”
— Wilson Lalengke, aktivis kemanusiaan Indonesia.
Pria kelahiran Morowali Utara itu dikenal luas sebagai tokoh yang teguh memperjuangkan hak asasi manusia, kebebasan pers, dan etika global. Sebagai lulusan pascasarjana Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, Wilson membawa agenda yang selaras dengan tema sidang: penegakan hukum internasional dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Selama berada di New York, Wilson menginap di Millennium Hilton New York One UN Plaza, hotel yang terletak hanya beberapa langkah dari markas besar PBB — tempat biasanya para diplomat dunia berkoordinasi menjelang sidang penting. Sumber internal menyebut, setibanya di hotel, Wilson sempat disambut seorang pejabat PBB yang menangani isu kemanusiaan Asia-Pasifik.
Pidato Wilson diyakini akan menyoroti peningkatan pelanggaran HAM berat di berbagai belahan dunia:
pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings), penyiksaan, penahanan tanpa proses hukum, dan pembiaran terhadap pembantaian massal yang sering luput dari sorotan publik internasional.
“Diamnya lembaga dunia di tengah tragedi kemanusiaan adalah bentuk kegagalan moral kolektif. Dunia membutuhkan keberanian untuk berkata: cukup sudah,” ujarnya dalam wawancara singkat sebelum berangkat ke PBB.
Wilson menegaskan bahwa pidatonya bukan mewakili kekuasaan politik, melainkan suara rakyat biasa — suara para korban yang selama ini dikubur oleh propaganda dan kepentingan negara besar.
“Ketika manusia berhenti peduli pada penderitaan sesamanya, maka dunia kehilangan jiwanya,”
— Wilson Lalengke.
Kehadirannya di panggung PBB menjadi simbol bahwa Indonesia masih memiliki anak bangsa yang berani menegakkan nurani dunia.
Dari ruang megah di Markas Besar PBB, suara Wilson akan bergema sebagai gema moral dari Timur, menembus dinginnya ruang sidang internasional yang sering bisu menghadapi kezaliman global.
Kabar dari New York ini menandai momen bersejarah — bukan hanya bagi PPWI, tetapi bagi bangsa Indonesia:
bahwa dari negeri yang pernah dijajah, lahir seorang aktivis yang kini berdiri di jantung diplomasi dunia untuk menyerukan satu pesan universal — “Kemanusiaan di atas segalanya.” ( RI.CN)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar