Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Tiga Kampung di Kecamatan Serba Jadi Diduga Tak Diakui Pemerintah Kabupaten Sergai Sumut

Sabtu, 11 Oktober 2025 | Sabtu, Oktober 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-11T10:30:53Z

Poto: Jalan kampung Bukit Dua Dusun V Desa Bajohom Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai propinsi Sumatera sangat memperihatinkan 


Dendam Politik Pilkada Diduga Jadi Akar Ketertinggalan Ribuan Warga Desa Kelapa Bajohom: “Kami Seperti Tidak Dianggap Warga Sergai”



CNEWS | SERDANG BEDAGAI —

Sudah lebih dari dua dekade, tiga kampung di Desa Kelapa Bajohom, Kecamatan Serba Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, hidup dalam keterasingan.

Warga di Kampung Bukit Satu, Bukit Dua, dan Tembikul seperti menempati wilayah yang tak pernah diakui pemerintah kabupaten. Tidak ada pembangunan jalan, tidak ada penerangan, bahkan akses menuju kantor desa pun tetap berupa jalan tanah merah berbatu besar yang berlumpur saat hujan.


Poto : Kondisi jalan pemukiman kampung Bukit Dua bebatuan besar membuat ban kendaraan cepat hancur 




Puluhan tahun janji pembangunan hanya terdengar lewat rapat dan baliho, tapi tidak pernah sampai ke tanah mereka.


Poto : Jalan yang harus di lalui anak sekolah yang harus di lewati setiap harinya 


 “Kami ini seperti tidak pernah merdeka. Sejak saya kecil sampai punya anak, jalannya tetap begini. Batu besar, lumpur, kalau malam gelap total. Kalau mau ke luar kampung, kami harus bawa senter dari HP,” keluh Wahyu, warga Kampung Bukit Dua, yang diwawancarai di tengah jalan berlumpur pekat.




Lebih dari 500 kepala keluarga bermukim di wilayah ini. Kondisi jalan yang ekstrem membuat warga kesulitan membawa hasil tani, anak sekolah terpaksa berjalan kaki sejauh 4–5 kilometer, dan ambulans sulit masuk bila ada keadaan darurat.

Sementara slogan pemerintah “Membangun dari Desa” terasa hanya menjadi jargon tanpa makna.


Dugaan Dendam Politik Usai Pilkada: Pembangunan Tersandera Suara


Sejumlah warga menduga kuat, keterlambatan pembangunan di tiga kampung tersebut bukan karena keterbatasan anggaran, melainkan akibat dendam politik pasca pemilihan kepala daerah (Pilkada).


Menurut warga, suara masyarakat di kampung itu pada Pilkada terakhir terbelah, dan sebagian tidak memilih petahana yang kini memimpin. Hal itulah yang diduga membuat kawasan mereka “tidak tersentuh pembangunan.”


“Kami dengar sendiri waktu itu, katanya kampung ini gak bakal dibangun karena suaranya imbang. Padahal banyak juga yang pilih dia. Tapi kayaknya dendamnya belum habis,” ungkap seorang ibu rumah tangga yang enggan disebut namanya.


Beberapa warga juga mengaku setiap kali musyawarah desa digelar, usulan perbaikan jalan, penerangan, dan jembatan selalu diabaikan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, kepala dusun yang mencoba menyuarakan aspirasi warganya disebut mendapat tekanan.


Tiga Periode Kepala Desa, Tapi Jalan Tetap Kubangan


Sumber masyarakat menyebut, Kepala Desa Kelapa Bajohom, Repelita Purba, yang sudah menjabat tiga periode, dianggap tidak transparan dalam pengelolaan Dana Desa dan tidak menunjukkan perhatian terhadap pelosok-pelosok dusun.


 “Setiap tahun anggaran cair, tapi gak tahu ke mana perginya. Gak ada pembangunan jalan, gak ada penerangan. Mau ke kantor desa aja harus lewat batu dan lumpur. Ini kepala desa sudah tiga periode, tapi desa tetap gelap,” ujar A.R., warga Bukit dua.


Data resmi dari Kementerian Desa (Kemendesa) menunjukkan, Dana Desa Kelapa Bajohom:


Tahun 2023: Rp 797.161.000

Tahun 2024: Rp 803.049.000

Status Desa: Berkembang


Dalam dokumen realisasi anggaran tersebut, tercatat alokasi besar untuk pembangunan jalan, antara lain:


Rp 151.971.800 untuk Peningkatan Jalan Usaha Tani

Rp 335.007.401 untuk Pengerasan Jalan Lingkungan Permukiman

Rp 80.136.800 untuk Pembangunan Jalan Desa (2024)


Namun, pantauan di lapangan menunjukkan tidak ada satu pun hasil pembangunan yang tampak. Jalan antar-dusun masih berupa tanah merah dan bebatuan besar. Warga mengaku tidak pernah melihat papan proyek maupun kegiatan pembangunan jalan.


 Anggaran Mengalir, Pembangunan Menguap


Dari hasil konfirmasi dan penelusuran warga, tidak ada bukti fisik dari proyek-proyek yang tercantum dalam laporan penggunaan Dana Desa.

Ironisnya, dalam laporan keuangan juga tercatat anggaran Rp 8 juta untuk Penyelenggaraan Informasi Publik Desa, namun tidak ada papan informasi APBDes di ruang publik desa.


 “Kalau benar jalan sudah dibangun, tunjukkan di mana. Jangan semua di laporan ada, tapi di lapangan gak ada. Kami cuma tahu lumpur dan batu,” ujar aktivis kembali menegaskan.


Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat adanya manipulasi laporan realisasi pembangunan dan pembiaran sistemik oleh pemerintah desa tanpa pengawasan efektif dari pihak kabupaten.


 Aktivis Desak Audit: ‘Ini Bukan Sekadar Kelalaian, Tapi Pembiaran Terstruktur’


Aktivis pemerhati pembangunan desa Serdang Bedagai, Kh.R.Syahputra C.EJ.,C.BJ., CN., C.In. menyebut kasus Kelapa Bajohom sebagai potret “kegagalan pengawasan berlapis.”

Menurutnya, jika Dana Desa mencapai hampir Rp 800 juta per tahun, tapi hasilnya nihil, maka patut dicurigai adanya penyimpangan administrasi dan moral politik.


 “Ini bukan lagi soal lupa bangun jalan, tapi sudah menyentuh soal etika dan tanggung jawab publik. Bupati dan Inspektorat harus turun langsung. Kalau perlu, kejaksaan audit Dana Desa Kelapa Bajohom,” tegasnya.


Ia juga menilai bahwa pemerintah kabupaten ikut bertanggung jawab, karena selama bertahun-tahun membiarkan ketimpangan antar-dusun tanpa tindakan tegas.

“Kalau pembangunan ditentukan berdasarkan pilihan politik, itu bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Negara tak boleh dendam kepada warganya sendiri,” tambah R.Syah


Kampung Gelap di Tengah Janji Terang


Ironi mencolok terlihat ketika malam tiba. Di Bukit Dua dan Tembikul, tak satu pun lampu jalan menyala. Warga hanya mengandalkan cahaya dari senter dan lampu minyak. Sementara di dusun lain yang lebih dekat ke pusat desa, sudah ada penerangan dan jalan semi-semen.


Perbedaan ini memperkuat dugaan adanya diskriminasi pembangunan berbasis politik di tingkat lokal.

Anak-anak di kampung tertinggal itu tumbuh dengan luka sosial: rasa ditinggalkan oleh negara yang seharusnya melindungi mereka.


“Kami cuma ingin jalan yang bisa dilalui anak sekolah, bukan mobil pejabat. Kalau hujan, kami terkurung di rumah. Ini bukan hidup yang pantas untuk warga Indonesia,” ujar seorang warga yang menolak disebut namanya.


 Desakan Warga dan Seruan Publik


Masyarakat bersama para aktivis kini mendesak pemerintah kabupaten dan aparat penegak hukum untuk:


1. Bupati Serdang Bedagai segera meninjau langsung kondisi fisik tiga kampung di Desa Kelapa Bajohom.

2. Inspektorat dan APIP Kabupaten melakukan audit menyeluruh atas penggunaan Dana Desa tahun 2023–2024.

3. Kepala Desa Repelita Purba dimintai pertanggungjawaban publik secara terbuka di hadapan masyarakat desa.


 “Kami ingin keadilan. Kami ingin pembangunan. Jangan karena politik, kami jadi korban,” tegas tokoh masyarakat setempat.


 Catatan Redaksi

Tim CNEWS akan terus  berupaya menghubungi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), serta Kepala Desa Kelapa Bajohom, Repelita Purba, untuk meminta klarifikasi terkait dugaan pembiaran pembangunan, penggunaan Dana Desa, dan ketimpangan antar-dusun.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi yang diberikan. ( Tim - Red)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update