“Negara Tidak Boleh Takluk kepada Korporasi yang Menguasai Tanah Desa Tanpa Dasar Hukum”
CNEWS, CIREBON — Dugaan penyimpangan hak pakai lahan desa oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di wilayah Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, memantik desakan keras dari aktivis agraria Saeful Yunus. Ia menegaskan bahwa dua desa — Cikeusal dan Palimanan Barat — telah kehilangan hak penguasaan sah atas tanah mereka akibat lemahnya pengawasan pemerintah dan habisnya masa berlaku Surat Hak Pakai (SHP) perusahaan tersebut.
Menurut Saeful, SHP yang diterbitkan sekitar awal tahun 1990-an telah berakhir masa berlakunya sejak lebih dari satu dekade lalu dan hingga kini tidak ditemukan bukti perpanjangan resmi di kantor pertanahan. Artinya, penggunaan lahan oleh PT Indocement di atas tanah tersebut tidak lagi memiliki dasar hukum.
“SHP itu punya batas waktu. Begitu masa berlaku habis dan tidak diperpanjang lewat mekanisme resmi, maka hak itu gugur otomatis. Bila perusahaan masih beroperasi di atas lahan itu, maka secara hukum itu penyerobotan aset negara,” tegas Saeful Yunus, kepada Media, Selasa (14/10/2025).
Payung Hukum: UUPA dan Kewajiban Pemerintah
Saeful menjelaskan, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 9 Tahun 1999 menjadi dasar hukum yang jelas bahwa setiap hak atas tanah negara atau desa harus diperpanjang melalui permohonan resmi, verifikasi BPN, dan persetujuan kepala daerah.
Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka hak itu hapus demi hukum, dan lahan kembali menjadi tanah negara atau tanah desa yang dikelola oleh pemerintah daerah.
“Kalau Pemprov dan BPN diam, itu berarti ikut membiarkan pelanggaran hukum. Padahal tanah desa adalah aset publik yang tidak bisa diprivatisasi begitu saja,” ujar Saeful.
Indikasi Pembiaran dan Potensi Mafia Tanah
Media menemukan informasi awal bahwa lahan yang dikelola PT Indocement di wilayah Gempol mencakup area produktif dengan nilai ekonomi tinggi — sebagian besar digunakan untuk kegiatan industri bahan baku semen dan kawasan pendukung logistik.
Dugaan kuat, status lahan tersebut telah berubah fungsi tanpa prosedur hukum yang sah, sementara pemerintah desa tidak lagi menerima kompensasi atau hasil bagi dari pemanfaatan tanah sejak izin berakhir.
Saeful menilai, praktik ini berpotensi menjadi modus klasik mafia tanah, di mana perusahaan tetap menguasai lahan atas dasar “izin lama” yang sudah tidak berlaku, dengan dalih masih dalam proses perpanjangan.
“Ini bentuk pelanggaran struktural. Ada unsur pembiaran birokrasi dan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan. Karena itu Gubernur harus turun langsung — jangan biarkan rakyat desa dikorbankan oleh sistem yang busuk,” tegasnya lagi.
Tantangan untuk Gubernur Kang Dedi Muliyadi
Menurut Saeful, momentum ini menjadi ujian pertama bagi Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Muliyadi (KDM) dalam membuktikan keberpihakannya terhadap rakyat kecil. Selama ini, KDM dikenal vokal dalam isu sosial dan pelestarian desa. Namun, ia kini ditantang untuk menegakkan keadilan agraria di atas kepentingan korporasi besar.
“Reputasi KDM sebagai pembela rakyat kecil sedang dipertaruhkan. Kalau beliau berani membongkar kasus ini, itu sinyal kuat bahwa pemerintah daerah tidak tunduk pada oligarki tanah,” ujar Saeful Yunus.
Ia mendesak agar gubernur segera:
- Menerbitkan surat tugas audit administratif atas seluruh SHP PT Indocement di Cirebon.
- Meminta BPN membuka data publik tentang status hak pakai yang telah berakhir.
- Menghentikan sementara seluruh aktivitas perusahaan di atas tanah yang berstatus kadaluarsa.
- Membuka ruang mediasi antara pemerintah desa dan perusahaan dengan pengawasan publik.
Agenda Investigasi: Media Telusuri Dokumen dan Pihak Terkait
Hasil penelusuran sementara awak media menyebutkan bahwa SHP PT Indocement di dua desa tersebut diterbitkan antara 1991–1994, dengan jangka waktu 25 tahun. Artinya, masa berlaku izin telah habis sejak sekitar 2016–2019.
Namun hingga kini, tidak ditemukan dokumen perpanjangan yang terdaftar di BPN Kabupaten Cirebon, dan pemerintah desa tidak pernah dilibatkan dalam proses administrasi ulang.
Redaksi juga tengah mengupayakan konfirmasi resmi kepada Kantor Wilayah BPN Jawa Barat, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi, serta Manajemen PT Indocement di Jakarta untuk memverifikasi status terkini hak pakai tersebut.
Ujian Keadilan Agraria
Saeful menegaskan, persoalan ini bukan hanya sengketa administratif, melainkan ujian moral negara dalam melindungi tanah rakyat.
“Kalau negara kalah oleh korporasi, artinya hukum sudah tak lagi berpihak pada rakyat. Gubernur harus menunjukkan keberanian politiknya,” tutup Saeful Yunus.
Sumber : AgungSBI
Editor Investigasi: kh.Rony Syahputra C.EJ., C.BJ., CN., C.In.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar