![]() |
Oleh: Yan Christian May
Ketua KNPI Kabupaten Keerom
Ketika Sistem Menjadi Akar Kekerasan
Di tengah gempuran modernisasi dan narasi pembangunan yang megah, nasib orang muda Indonesia — terutama di wilayah pinggiran seperti Papua — kerap tersisih dari prioritas kebijakan. Mereka, yang sejatinya menjadi energi perubahan bangsa, justru banyak terjebak dalam situasi yang menyesakkan: minim lapangan kerja, sulit mengakses pendidikan bermutu, dan kehilangan ruang untuk mengekspresikan diri.
Fenomena ini bukan sekadar potret kemiskinan sosial. Ia adalah bentuk kekerasan struktural, sebagaimana dikemukakan oleh sosiolog Johan Galtung — kekerasan yang tidak memukul secara fisik, tetapi melukai melalui sistem sosial dan ekonomi yang timpang.
Ketika kebijakan publik lebih berpihak pada pusat kota ketimbang daerah perbatasan, ketika akses pendidikan bermutu hanya milik kalangan berpunya, dan ketika anak muda dipaksa bersaing tanpa dukungan nyata negara — di situlah sistem justru menjadi pelaku kekerasan.
Di Kabupaten Keerom dan wilayah Papua lainnya, bentuk kekerasan ini tampak kasat mata. Banyak pemuda memiliki semangat dan kemampuan luar biasa, tetapi terkekang oleh keterbatasan struktural. Tanpa intervensi dan pendampingan berkelanjutan, potensi emas mereka terancam tergerus oleh ketidakadilan yang diwariskan sistem.
Dari Ketimpangan ke Kriminalitas: Ketika Tekanan Sosial Menjadi Ledakan
Kekerasan struktural yang menutup akses dan harapan, perlahan berubah menjadi tekanan sosial (strain) yang memicu perilaku menyimpang. Dalam kajian kriminologi, tekanan akibat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sering kali mendorong sebagian orang muda mencari jalan pintas — dari penyalahgunaan narkoba, perkelahian antarkelompok, hingga tindak kriminal.
Kita tidak bisa terus menyalahkan mereka secara moral, seolah kejahatan lahir dari pilihan individu semata. Kegagalan sistemik dalam menyediakan ruang hidup yang adil adalah pangkal dari banyak “kesalahan” anak muda. Jika akar struktural ini tidak dibenahi, maka kriminalitas hanyalah gejala permukaan dari penyakit sosial yang lebih dalam.
Peran Negara dan KNPI: Dari Seremoni ke Aksi Nyata
Sudah saatnya paradigma pembangunan kepemudaan berubah. Negara tidak cukup membangun gedung dan jalan, tanpa membangun manusia yang akan mengisinya.
Pendidikan adaptif, pelatihan vokasi, dan pemberdayaan ekonomi kreatif harus menjadi prioritas. Pemerintah daerah mesti membuka ruang kolaborasi dengan organisasi kepemudaan seperti KNPI, bukan hanya dalam acara seremoni, tetapi dalam program nyata yang mengubah nasib.
KNPI di Kabupaten Keerom berkomitmen menjadikan dirinya bukan sekadar simbol, melainkan motor perubahan sosial — jembatan yang mempertemukan aspirasi pemuda dengan kebijakan publik. Pembinaan karakter, pelatihan kewirausahaan, hingga advokasi sosial harus menjadi instrumen perjuangan agar pemuda tidak sekadar bertahan, tetapi tumbuh menjadi pemimpin yang memerdekakan bangsanya dari ketergantungan dan ketidakadilan.
Menata Keadilan untuk Masa Depan
Keadilan sosial bukan hanya soal ketiadaan kekerasan fisik, tetapi juga soal hadirnya sistem yang memungkinkan setiap orang muda berkembang tanpa hambatan struktural. Mereka tidak butuh belas kasihan — yang mereka butuh adalah kesempatan yang adil: akses pendidikan, pekerjaan layak, ruang kreativitas, dan kebijakan yang berpihak.
Jika struktur sosial terus timpang, kita akan menuai lingkaran setan pengangguran, kriminalitas, dan disintegrasi sosial. Tetapi bila keberpihakan dibangun di atas prinsip keadilan dan inklusivitas, maka pemuda bukan lagi korban sistem, melainkan arsitek perubahan masa depan bangsa.
Penulis: Yan Christian May, Ketua KNPI Kabupaten Keerom dan pemerhati sosial kepemudaan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar