CNEWS | Tapanuli Selatan – 7 September 2025
Tapanuli Selatan diguncang tragedi kemanusiaan. Seorang pria berinisial SBP (48) ditangkap setelah tega menganiaya anak tirinya, MAG (3), hingga meregang nyawa. Peristiwa memilukan ini terjadi di Dusun Rispa, Desa Pargarutan Jae, Kecamatan Angkola Timur, Jumat (5/9/2025).
Rekonstruksi Kekerasan yang Berulang
Berdasarkan keterangan Kasi Humas Polres Tapsel Ipda Amalisa Nofriyanti Siregar, kejadian bermula saat ibu korban pergi sebentar ke kampung sebelah untuk mengecas ponsel karena rumah mereka tidak memiliki listrik. MAG yang ingin ikut ibunya ditahan oleh SBP. Tangisan korban membuat pelaku emosi hingga kalap.
“Pelaku mengangkat dan membanting korban ke tanah satu kali. Saat korban masih menangis, pelaku menampar kepala korban, lalu mendorongnya hingga terjatuh. Setelah itu, pelaku kembali membanting korban berkali-kali dan memukul kepalanya menggunakan kayu sepanjang 50 cm,” jelas Amalisa.
Usai melampiaskan amarah, pelaku justru rebahan di depan rumah sambil membiarkan korban tergeletak kesakitan. Selang beberapa menit, korban mengalami kejang-kejang. SBP lalu membawa korban ke sebuah pesantren berjarak satu kilometer, menitipkan korban kepada warga, dan kembali bersama istrinya. Namun, saat tiba kembali, korban sudah tak bernyawa.
Motif Sederhana, Kekerasan Sistematis
Hasil interogasi mengungkap motif pelaku: kesal karena korban kerap menangis. Lebih mencengangkan, SBP mengakui bahwa tindakannya bukan kali pertama. Ia sering melakukan kekerasan terhadap korban sejak menikah dengan ibu korban pada Mei 2025.
“Fakta bahwa tersangka melakukan penganiayaan secara berulang semakin memperberat perbuatannya,” tegas Amalisa.
Jeratan Hukum Berat Menanti
Kini, SBP resmi ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 80 ayat 3 dan 4 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Hukuman dapat diperberat sepertiga karena pelaku adalah orang tua dalam konteks hukum keluarga.
Polisi juga mengamankan barang bukti berupa kayu yang digunakan untuk menganiaya korban. “Kami pastikan kasus ini diproses sesuai hukum dan perkembangan penanganannya akan terus dilaporkan ke publik,” tambah Amalisa.
Potret Buram Perlindungan Anak di Sumut
Kasus ini menambah deretan panjang tragedi kekerasan anak di Sumatera Utara. Kondisi keluarga rentan, faktor ekonomi, dan lemahnya pengawasan sering kali membuka ruang bagi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pengamat perlindungan anak menilai, kasus SBP menunjukkan bahwa tindak kekerasan dalam keluarga kerap berulang sebelum akhirnya berujung fatal. “Ada pola kekerasan yang dibiarkan. Anak-anak menjadi korban diam karena lingkungan tidak berani atau tidak mampu mencegah,” kata seorang aktivis perlindungan anak di Medan kepada CNEWS
Catatan Hitam Kemanusiaan
Balita tak berdosa itu kini tinggal nama. Tragedi Tapsel menjadi peringatan keras bahwa perlindungan anak bukan sekadar jargon hukum, melainkan tanggung jawab nyata negara, aparat, dan masyarakat. ( Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar