CNews ,Manokwari, Papua Barat – Suara riak air Sungai Wariori dan Wasirawi yang dulu jernih kini berganti menjadi hamparan kolam-kolam hijau pekat. Bebatuan teraduk, aliran sungai terputus, dan lumpur mengendap di dasar air. Inilah wajah baru yang ditinggalkan aktivitas tambang emas ilegal di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Kondisi tersebut menjadi perhatian serius publik, setelah Anggota DPR RI Dapil Papua, Yan Mandenas, bersama Bupati Manokwari, Hermus Indou, melakukan inspeksi mendadak ke lokasi tambang. Sidak yang dilakukan awal pekan ini mengungkap kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Sungai Berubah Jadi Kolam Bekas Tambang
Dalam peninjauan itu, Yan Mandenas tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menyaksikan langsung bagaimana aliran Sungai Wariori berubah total akibat pengerukan tambang emas ilegal.
“Yang terjadi di sepanjang batang air dari Sungai Wariori, bentuk sungai ini sudah berubah total menjadi kolam-kolam besar. Airnya sudah menghijau, semua ini ditinggalkan oleh aktivitas pertambangan emas ilegal,” tegas Mandenas.
Politisi Gerindra tersebut mengingatkan bahwa kerusakan ekologis ini bukan sekadar masalah lokal. Jika tidak segera dihentikan, dampaknya akan meluas hingga ke wilayah pesisir yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat adat dan nelayan.
Dugaan Ada “Beking” Oknum Pejabat
Mandenas secara gamblang menuding ada oknum yang membekingi aktivitas tambang ilegal. Menurutnya, sulit dipercaya operasi tambang dengan skala besar bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa keterlibatan aparat atau pejabat.
“Kalau tidak ada pejabat yang bermain, mustahil tambang sebesar ini bisa berjalan terus. Peringatan sudah kami sampaikan kepada Menteri ESDM sejak tiga tahun lalu, tetapi hingga kini belum ada langkah tegas,” ujarnya lantang.
Pernyataan itu membuka kembali diskursus lama: mengapa penertiban tambang ilegal di Papua Barat kerap mandek? Banyak pihak menilai ada jaringan kepentingan ekonomi, politik, bahkan aparat keamanan yang ikut terlibat.
Aspirasi Aktivis Papua : Hentikan Pembiaran
Sidak DPR dan Bupati Manokwari juga mendapat dukungan dari Ketua LSM Wadah Generasi Anak Bangsa (WGAB), Yerry Basri Mak, yang menyampaikan aspirasi agar kasus ini tidak lagi dianggap sepele. Menurutnya, tambang ilegal sudah merusak tidak hanya ekosistem, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Ini bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tetapi juga menyangkut kredibilitas negara. Jika aparat lamban, publik akan menilai ada pembiaran, bahkan keterlibatan oknum tertentu,” tegas Yerry.
LSM WGAB menilai ada tiga faktor utama mengapa aktivitas tambang ilegal tetap berlanjut:
- Lemahnya penegakan hukum – proses hukum lamban, penertiban tidak tuntas.
- Potensi pembiaran – meski ada operasi, aktivitas kembali marak, seolah ada toleransi dari pihak berwenang.
- Bekingan oknum – indikasi keterlibatan aparat atau pejabat membuat penindakan tidak maksimal.
Dampak Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Kerusakan sungai tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga keberlangsungan hidup masyarakat adat di sekitar bantaran. Air sungai yang tercemar lumpur dan zat kimia diduga merkuri membuat warga sulit mendapatkan air bersih. Ikan pun berkurang drastis.
“Dulu kami bisa langsung minum dari sungai, sekarang tidak berani lagi. Airnya kotor dan sering membuat sakit perut,” keluh seorang warga Kampung Wasirawi.
Selain itu, kerusakan sungai berpotensi memicu banjir bandang saat musim hujan karena aliran air tidak lagi normal. Dari sisi ekonomi, keuntungan besar hanya dinikmati segelintir penambang ilegal, sementara masyarakat luas menanggung dampak kerusakan.
Analisis Hukum: Negara Jangan Kalah
Secara hukum, aktivitas tambang emas ilegal jelas melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua aturan tersebut menegaskan, kegiatan pertambangan tanpa izin resmi merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara dan denda miliaran rupiah.
Namun, lemahnya penindakan membuat hukum seakan tak bertaji di Papua Barat. Padahal, dalam Pasal 158 UU Minerba disebutkan, setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dapat dipidana dengan penjara paling lama lima tahun dan denda Rp100 miliar.
Tuntutan dan Rekomendasi
Melihat fakta lapangan dan kerugian yang ditimbulkan, LSM WGAB mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah konkret:
- Penegakan hukum menyeluruh terhadap seluruh pelaku, termasuk oknum beking di balik tambang.
- Evaluasi kinerja aparat dan lembaga terkait, agar tidak terjadi kelambanan dalam penindakan.
- Restorasi lingkungan sungai melalui rehabilitasi dan penghentian total aktivitas tambang.
- Pelibatan masyarakat dan media untuk mengawal kasus ini, sehingga tidak ada lagi ruang pembiaran.
“Tidak ada alasan lagi untuk menunda. Pemerintah pusat harus segera turun tangan, menindak tegas, dan memulihkan sungai yang rusak. Jika tidak, masyarakat Papua Barat akan terus menjadi korban dari rakusnya tambang ilegal,” pungkas Yerry. ( YBM)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar