CNEWS, Sorong, Papua Barat Daya – Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Beauty Deitje Elisabeth Simatauw, S.H., M.H., yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Hakim dalam perkara perdata sengketa tanah antara PT Bagus Jaya Abadi (BJA) melawan Samuel Hamonangan Sitorus, diduga kuat melanggar prinsip dasar peradilan dengan tidak menyampaikan putusan sela atas eksepsi tergugat.
Indikasi penyimpangan prosedur tersebut memicu sorotan tajam dari kalangan advokat, aktivis hukum, hingga tokoh nasional. Pengacara tergugat, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H., menyebut sikap majelis hakim tidak lazim dan mencurigakan.
“Kami telah mengajukan eksepsi secara resmi dan substansial. Tapi sampai hari ini majelis hakim enggan membacakan putusan sela. Ini menyalahi prosedur dan mencederai asas keadilan,” ujar Simon Soren, Senin malam, 28 Juli 2025.
Tiga Alasan Eksepsi Tergugat
Dalam eksepsinya, pihak tergugat menolak gugatan PT BJA dengan tiga dasar hukum utama:
-
Tidak Memiliki Legal Standing
Gugatan didasarkan pada Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat atas nama Paulus George Hung, seorang WNA asal Malaysia, bukan atas nama penggugat Ronal L. Sanuddin atau PT BJA. Berdasarkan Pasal 21 UUPA No. 5 Tahun 1960, WNA tidak bisa memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. -
Obscuur Libel (Gugatan Kabur)
Lokasi tanah yang diklaim penggugat tidak memiliki kejelasan titik koordinat maupun luasan, dan bahkan dasar hukumnya diduga cacat administratif. Surat keputusan reklamasi dari Walikota Sorong yang menjadi dasar klaim PT BJA pun disebut tidak sesuai prosedur dan berpotensi hasil penyalahgunaan wewenang. -
Error in Persona (Kurang Pihak)
Gugatan tidak menyertakan sejumlah pihak penting, seperti warga adat pemberi pelepasan hak, Walikota Sorong, dan BPN Kota Sorong. Hal ini dianggap mengaburkan konstruksi hukum perkara.
Putusan Sela Ditunda Tanpa Alasan: Dugaan Intervensi dan ‘Angin Sorga’
Kasus ini menjadi sorotan karena hingga kini putusan sela tak kunjung dibacakan, padahal eksepsi tergugat disampaikan sejak awal Juli 2025. Penundaan ini memunculkan dugaan bahwa hakim terpapar intervensi eksternal.
Tokoh pers nasional sekaligus alumni Lemhannas RI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menilai Ketua PN Sorong telah mengabaikan prinsip transparansi dan profesionalitas.
“Ketua PN Sorong seharusnya menjadi teladan moral dan hukum bagi para hakim di bawahnya. Tapi justru memperlihatkan sikap diam, tidak objektif, dan terindikasi ‘masuk angin sorga’. Ini sangat memalukan bagi institusi peradilan,” tegas Wilson, yang telah melakukan investigasi ke PN Sorong beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, Wilson menduga ada tekanan atau intervensi uang dan kekuasaan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan atas kasus ini, terutama karena pemilik PT BJA, Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Chin, dikenal luas memiliki dukungan dari oknum aparat hukum.
Batu Uji Integritas PN Sorong
Wilson menekankan bahwa kasus ini menjadi batu uji integritas dan profesionalitas lembaga peradilan di Sorong. Jika dugaan intervensi benar adanya, maka putusan nantinya bisa menjadi preseden buruk bagi pencari keadilan lainnya.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya pada sistem hukum jika proses hukum seperti putusan sela saja tidak dijalankan? Apalagi jika benar ada intervensi dan permainan dalam perkara ini,” tandas Wilson.
Simon Soren menambahkan bahwa pihaknya telah mengajukan gugatan rekonvensi sekaligus memohon eksepsi dikabulkan. Ia berharap putusan sela segera dibacakan dan dikabulkan, demi menjunjung tinggi keadilan berdasarkan hukum yang berlaku.
“Kami hanya meminta perlindungan hukum atas hak-hak klien kami. Tidak ada niat merugikan siapapun. Tapi jika keadilan dikhianati sejak proses awal, maka publik berhak tahu dan bereaksi,” pungkas Simon.
( Tim-Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar