Sorong, Papua Barat Daya – CNews.web.id
Persidangan sengketa lahan di Pengadilan Negeri (PN) Sorong yang diajukan PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) terhadap Samuel Hamonangan Sitorus cs, terus menuai sorotan tajam. Berdasarkan dokumen persidangan dan analisis hukum yang dihimpun tim redaksi, gugatan yang dikenal luas sebagai “Tipu-tipu ala Abunawas” ini dinilai tidak layak dilanjutkan ke pokok perkara dan seharusnya ditolak sejak awal oleh Majelis Hakim karena cacat formil dan materil.
Gugatan Gagal di Mediasi, Dipaksakan ke Sidang Pokok
Setelah dinyatakan gagal dalam tahap mediasi, perkara ini memasuki sidang pokok. Padahal, dari aspek formil, legal standing penggugat dipersoalkan keras oleh kuasa hukum tergugat, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H. Ia menegaskan, gugatan PT. Bagus Jaya Abadi sarat rekayasa kepemilikan dan bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang sah.
Tiga Alasan Pokok yang Menjadi Dasar Penolakan
-
Tidak Memiliki Legal Standing
Berdasarkan dokumen sah berupa Surat Pelepasan Hak Milik Atas Tanah Adat No. 54/02/SKET/TA/LMA-MA/III/2003 tertanggal 9 Maret 2003, tanah sengketa tersebut milik sah Drs. Anwar Rachman yang kemudian dijual kepada Labora Sitorus pada 2009, dan masih dikuasai secara fisik oleh keluarganya.
Sementara itu, dasar klaim penggugat menggunakan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat Nomor: 593.8/03/2013, yang justru ditujukan kepada Paulus George Hung—bukan kepada Ronal L. Sanuddin atau PT. Bagus Jaya Abadi. Ironisnya, saat surat pelepasan diterbitkan, Paulus George Hung masih berstatus Warga Negara Asing (WNA Malaysia), yang secara hukum dilarang memiliki hak milik atas tanah di Indonesia sesuai Pasal 21 ayat (1) UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Tak hanya itu, pelepasan hak oleh ahli waris adat tersebut telah resmi dicabut melalui surat tertanggal 14 Agustus 2014 dan dipertegas lagi pada 9 Juni 2025. Artinya, dasar hukum gugatan PT. Bagus Jaya Abadi sudah batal demi hukum.
-
Gugatan Tidak Jelas (Obscuur Libel)
Penggugat tidak mampu menunjukkan secara pasti letak, batas, maupun luas tanah yang disengketakan. Terdapat perbedaan mencolok antara luas tanah dalam Surat Pelepasan Hak (82.650 m²), luasan dalam klaim gugatan (6.600 m²), dan izin reklamasi dari Walikota Sorong (12 hektar). Perbedaan ini membuktikan bahwa gugatan dibuat tanpa kejelasan objek.
Bahkan izin reklamasi yang dimiliki penggugat diduga kuat cacat hukum dan terbit melalui mekanisme yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Penelusuran tim investigasi juga menemukan indikasi pemalsuan dokumen dalam penerbitan izin tersebut.
-
Error in Persona atau Pihak Tidak Lengkap
Dalam hukum acara perdata, gugatan harus melibatkan semua pihak yang berkaitan langsung dengan objek sengketa. Namun dalam perkara ini, terdapat setidaknya tiga pihak yang secara hukum wajib dilibatkan namun diabaikan penggugat, yaitu:
- Jan PJ Buratehi/Bewela dan Willem RN Buratehi/Bewela, pemberi dan pencabut surat pelepasan hak atas tanah adat.
- Walikota Sorong, sebagai pihak yang mengeluarkan SK Izin Reklamasi yang bermasalah.
- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Sorong, yang telah melakukan pengukuran atas permohonan sertifikasi tanah oleh Labora Sitorus namun lalai menyelesaikannya.
Harapan Masyarakat: Hakim Tegakkan Keadilan Berdasarkan Fakta
Masyarakat Sorong berharap Majelis Hakim PN Sorong tidak terjebak dalam permainan hukum semu yang dipaksakan oleh pihak penggugat. Advokat Simon Maurits Soren menyebut perkara ini menjadi batu uji bagi integritas peradilan di Papua Barat Daya.
“Para tergugat hanya meminta perlindungan hukum yang sah atas hak-hak mereka. Tidak ada niat merugikan pihak manapun. Kami berharap Majelis Hakim mengabulkan eksepsi dan jawaban kami yang telah disampaikan pada sidang 30 Juni 2025 lalu, serta menolak gugatan palsu ini dalam putusan sela,” tegas Simon.
Bukan Sekadar Sengketa Tanah, Ini Ujian Reformasi Peradilan
Kasus ini bukan sekadar soal sengketa kepemilikan tanah, melainkan menguji konsistensi Majelis Hakim PN Sorong dalam menerapkan hukum secara benar dan tidak memberi ruang bagi mafia tanah yang bersembunyi di balik perusahaan swasta.
Perkara ini menjadi peringatan keras bahwa hukum Indonesia tidak boleh lagi dipermainkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hak dan legalitas, apalagi dengan dugaan kuat rekayasa legal standing dan manipulasi administratif. (TIM RED)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar