CNEWS - Sumut – Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah perjalanan menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Hal ini ditegaskan oleh Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar abad ke-13, yang melihat puasa sebagai sarana untuk menyucikan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Husin al-Khattabi al-Balkhi lahir di Balkh pada 6 Rabi’ulawal 604 H (30 September 1207 M). Ia dikenal sebagai penyair dan pemikir sufi yang menggunakan bahasa simbol dalam menyampaikan pengalaman mistiknya.
Menurut Imam Junaid al-Baghdadi, “Ucapan kami (para sufi) adalah simbol dan isyarat.” Hal ini karena pengalaman spiritual sulit dijelaskan dengan bahasa biasa.
Bahasa Simbol dan Makna Puasa
Dalam karya puisinya, Rumi menulis:
"Tahanlah bibirmu dari makan dan minum,
bergegaslah menyambut hidangan langit."
Ia menekankan bahwa ketika seseorang mengosongkan perutnya dari makanan jasmani, jiwanya akan dipenuhi oleh cahaya hikmah dan pengetahuan Ilahi.
Sejalan dengan itu, Imam Al-Qusyairi dalam Ar-Risālah mencatat bahwa Rasulullah SAW sering kali menjalankan puasa sebagai bentuk penyucian diri. Bahkan dalam sebuah riwayat, Nabi SAW pernah berpuasa selama tiga hari berturut-turut tanpa makan.
Sahal al-Tustari, seorang sufi lainnya, juga menegaskan bahwa “Allah menjadikan kenyang sebagai sumber kebodohan dan kemaksiatan, sementara lapar adalah jalan menuju ilmu dan kebijaksanaan.”
Relevansi Puasa dalam Kehidupan Modern
Di era modern, praktik puasa tidak hanya dimaknai sebagai ibadah, tetapi juga menjadi tren gaya hidup sehat. Intermittent fasting (puasa berkala), misalnya, semakin populer di kalangan masyarakat global. Namun, bagi para sufi, puasa bukan hanya soal kesehatan fisik, tetapi juga cara membersihkan hati dan pikiran.
“Konsep puasa dalam tasawuf bukan hanya menahan lapar, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini relevan dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi,” ujar Dr. Ahmad Zuhdi, pakar tasawuf dari Universitas Islam Negeri Jakarta.
Dengan memahami puasa dari perspektif Rumi, umat Muslim diharapkan dapat melihatnya bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai sarana transformasi diri.
(Reporter: RI.SP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar