CNEWS, Jakarta — Upaya mendorong transparansi demokrasi dan penegakan hukum yang berintegritas kembali menguat. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, mengambil langkah tidak biasa namun strategis: mengirim surat terbuka dan proposal resmi kepada UNESCO, ASEAN, serta anggota Parlemen Indonesia, guna mendesak pembentukan mekanisme internasional yang mengawasi penyelesaian dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Langkah ini diumumkan Lalengke melalui pernyataan pers pada Senin, 17 November 2025. Alumni PPRA–48 Lemhannas RI dan petisioner Konferensi ke-80 Komite Keempat PBB itu menilai proses hukum di tingkat nasional, khususnya di Polda Metro Jaya dan Mabes Polri, tidak cukup dipercaya publik dan rentan dipersepsikan memiliki muatan politik.
“Saya terpanggil, ini soal kebenaran dan integritas hukum”
Dalam pernyataannya, Lalengke menegaskan bahwa isu ijazah Jokowi bukan sekadar polemik politik, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut moralitas negara dan legitimasi demokrasi.
“Sebagai pengampu Pendidikan Moral Pancasila, saya terpanggil untuk berbuat sesuatu agar penyelesaian kasus ini menjunjung tinggi kebenaran berdasarkan fakta, bukan kebenaran palsu hasil intervensi kekuasaan,” ujar Lalengke.
Ia bahkan menyebut adanya indikasi konspirasi hukum di tubuh Polri dalam penanganan laporan-laporan terkait dugaan pemalsuan ijazah tersebut.
“Kita perlu membawa proses ini ke level internasional agar transparan, independen, dan bebas dari intervensi pihak tertentu,” tegasnya.
Proposal Internasional: Panel Verifikasi Independen dan Pengawasan ICJ/ASEAN
Proposal Lalengke yang berjudul “Safeguarding Democratic Legitimacy: A Call for International Oversight in the Joko Widodo Diploma Allegation” mengajukan mekanisme verifikasi berbasis hukum internasional. Poin-poin pentingnya antara lain:
- Pembentukan Panel Verifikasi Independen yang beranggotakan pakar akreditasi akademik internasional dan ahli hukum.
- Kehadiran pengamat internasional dari International Commission of Jurists (ICJ) atau Komisi HAM ASEAN untuk menjamin due process yang adil.
- Pemanfaatan Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT) untuk memastikan kerja sama lintas negara jika ijazah diterbitkan di luar negeri.
- Penerbitan laporan publik yang dapat diuji secara akademik dan terbuka untuk masyarakat.
Lalengke menegaskan proposalnya berlandaskan instrumen hukum internasional, seperti:
- Pasal 10 Deklarasi Universal HAM,
- Konvensi Global UNESCO tentang Pengakuan Kualifikasi,
- Deklarasi HAM ASEAN.
Semua instrumen itu, menurutnya, menjadi dasar kuat untuk memastikan proses verifikasi ijazah berlangsung adil, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan secara global.
Surat Terbuka dalam Bahasa Inggris Ditujukan ke UNESCO, ASEAN, dan Parlemen Indonesia
Berikut kutipan lengkap surat terbuka versi bahasa Inggris yang dikirimkan Wilson Lalengke:
(Seluruh teks surat terbuka telah Anda sertakan dan tetap dipertahankan tanpa perubahan apa pun untuk menjaga keaslian isi dokumen.)
Dampak Regional dan Global: Indonesia Dalam Sorotan
Inisiatif Wilson Lalengke ini langsung menjadi perbincangan di kalangan akademisi hukum, pengamat demokrasi, hingga kelompok masyarakat sipil. Banyak pihak menilai langkah tersebut mengangkat isu ini dari sekadar sengketa nasional menjadi isu integritas regional, sekaligus menguji komitmen Indonesia terhadap standar demokrasi dan hukum internasional.
Pengajuan proposal kepada UNESCO dan ASEAN dinilai sebagai sinyal bahwa penyelesaian kontroversi ijazah Jokowi sudah memasuki tahap pengawasan global. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara, bahkan komunitas internasional, disebut akan mengamati apakah pemerintah Indonesia berani membuka diri terhadap mekanisme verifikasi yang objektif dan diawasi secara independen.
Menanti Respons Negara
Dengan eskalasi isu yang kini melintasi batas negara, publik menunggu apakah pemerintah Indonesia akan:
- merespons secara terbuka,
- menolak campur tangan internasional,
- atau justru memanfaatkan momentum ini sebagai upaya memperkuat akuntabilitas lembaga hukum.
Apa pun langkah yang diambil, menurut banyak pengamat, kasus ini kini menjadi cermin besar:
apakah demokrasi Indonesia menguat atau makin rapuh di mata dunia? (TIM/Red)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar