![]() |
| Aktivis Papua Yerry Basri Mak SH MH Apresiasi Terhadap Kejati Papua Ungkap Kasus Korupsi |
CNEWS, Jayapura – Kejaksaan Tinggi Papua kembali membuka lembaran kelam di dunia pendidikan tanah Papua. Tiga pejabat Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Papua resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp43 miliar, hasil penyelewengan anggaran tahun 2019–2021.
Ketiganya ialah AH (Kepala LPMP Papua), AI (Bendahara Pengeluaran), dan ER (Bendahara Penerimaan). Ketiganya kini dijerat setelah penyidik menemukan dua sumber utama kerugian negara, yakni dari dana APBN sebesar Rp34 miliar dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp8 miliar.
Kepala Seksi Penyidikan Kejati Papua, Valeri Dedy Sawaki, yang mewakili Aspidsus Kejati Papua Nikson Mahuse, menegaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah tim penyidik mengantongi lebih dari dua alat bukti sah dan kuat.
“Penyidik menemukan adanya praktik mark-up, penagihan ganda, hingga belanja fiktif yang terstruktur dalam laporan keuangan. Hasil audit ahli memperkirakan kerugian negara sebesar Rp43 miliar,” jelas Valeri dalam konferensi pers, Jumat (24/10/2025) di Jayapura.
Skema Korupsi: Dari Anggaran Fiktif hingga Dana Bocor
Berdasarkan hasil investigasi , modus korupsi dilakukan secara sistematis. Dari dana APBN Rp34 miliar, ditemukan adanya kegiatan fiktif dan pembayaran proyek non-eksisting, yang diklaim sebagai kegiatan pelatihan, pengadaan peralatan pendidikan, hingga studi banding yang tidak pernah terlaksana.
Sementara itu, dari dana PNBP sebesar Rp8 miliar, penyidik mendapati pola penagihan anggaran melebihi plafon yang ditetapkan pemerintah. Dana selisih itu tak pernah masuk kas negara, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti rehabilitasi rumah pejabat, pembelian mobil pribadi, dan pembiayaan gaya hidup.
Sebagian dana hasil korupsi bahkan diduga diputar dalam jaringan bisnis lokal dan politik di Jayapura, termasuk untuk membiayai kegiatan non-pendidikan.
Penyidik telah menyita satu unit mobil dan menerima pengembalian uang senilai Rp2 miliar, namun jejak aliran dana masih terus ditelusuri.
Dana Pendidikan Jadi Ladang Oligarki
Menurut sejumlah sumber internal di lingkungan LPMP yang enggan disebutkan namanya, penyalahgunaan anggaran diduga telah berlangsung lama dan melibatkan pihak eksternal, termasuk rekanan proyek serta pejabat kementerian pusat yang membiarkan praktik manipulatif itu berjalan.
“Setiap tahun laporan audit internal selalu dipoles agar terlihat wajar. Ada ‘komisi diam-diam’ yang harus dibayar kepada oknum tertentu agar tidak ada temuan serius,” ungkap salah satu sumber yang pernah menjadi staf administrasi di LPMP Papua.
Skandal ini menunjukkan bagaimana dana pendidikan yang seharusnya memperbaiki mutu sekolah dan pelatihan guru di Papua justru dijarah secara sistematis oleh elite birokrasi daerah.
Ironisnya, di saat banyak sekolah di pedalaman Papua kekurangan guru dan fasilitas belajar, uang negara miliaran rupiah justru mengalir ke rekening pribadi para pejabat.
Aktivis Papua: Tegakkan Hukum Tanpa Tawar-Menawar
Ketua LSM WGAB Papua, Yerry Basri Mak, S.H., M.H., menegaskan bahwa langkah Kejati Papua patut diapresiasi, namun proses hukum harus menembus batas jabatan dan jaringan politik.
“Kami mendukung Kejati Papua. Jangan berhenti pada tiga tersangka ini. Bongkar semua aktor di balik penyalahgunaan dana pendidikan. Korupsi dana pendidikan adalah kejahatan terhadap masa depan anak-anak Papua,” tegas Yerry kepada CNEWS.
Menurutnya, kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap hak dasar masyarakat Papua atas pendidikan yang bermutu.
Ia menilai perlu ada reformasi menyeluruh dalam pengawasan anggaran pendidikan di Papua agar kasus serupa tidak berulang.
Menguji Ketegasan Kejaksaan
Langkah Kejati Papua ini menjadi ujian serius bagi lembaga penegak hukum di wilayah timur Indonesia, yang selama ini dinilai lemah dalam menangani korupsi berlapis struktur birokrasi.
Jika kasus ini berhasil dibawa hingga vonis dan seluruh dana dikembalikan ke kas negara, Kejati Papua akan mencatatkan preseden penting dalam penegakan hukum dan integritas lembaga pendidikan di Tanah Papua.
Namun jika tidak, publik akan kembali kehilangan kepercayaan pada institusi hukum yang semestinya menjadi benteng terakhir keadilan.
Catatan Akhir
Skandal Rp43 miliar LPMP Papua bukan sekadar kasus pencurian uang negara, tetapi peta korupsi terstruktur di sektor pendidikan yang memperlihatkan betapa rapuhnya integritas pejabat publik.
Kejaksaan kini berada di persimpangan sejarah: menyelamatkan wajah hukum dan pendidikan di Papua, atau membiarkan kejahatan birokrasi terus mengakar. (YBM.RI)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar