CNEWS | PAPUA — PT Freeport Indonesia (PTFI) menyetorkan dana sekitar Rp 7,73 triliun kepada pemerintah pusat dan daerah atas keuntungan bersih tahun buku 2024. Dari jumlah itu, Rp 3 triliun menjadi bagian pemerintah pusat dan Rp 4,63 triliun disalurkan ke pemerintah daerah di Provinsi Papua Tengah.
Namun di balik angka fantastis tersebut, suara kekecewaan dan tuntutan keadilan kembali menggema dari tanah yang kaya akan emas dan tembaga itu. Aktivis lokal menilai, aliran dana besar itu belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat Papua, terutama komunitas adat dan warga di sekitar area operasional Freeport.
Rincian Dana: Miliaran untuk Daerah, Tapi Rakyat Masih Sengsara
Presiden Direktur PTFI Tony Wenas dalam rilis resmi yang diterima media, Senin (21/4/2025), menyatakan bahwa pembayaran bagian daerah merupakan bukti transparansi dan komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi lokal.
“Pembayaran bagian daerah dari keuntungan bersih merupakan bukti nyata komitmen perusahaan dalam berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah,” ujar Tony Wenas.
Dari total Rp 4,63 triliun yang dialokasikan untuk daerah, Pemerintah Provinsi Papua Tengah menerima sekitar Rp 1,16 triliun, Kabupaten Mimika sebagai daerah penghasil mendapat Rp 1,92 triliun, sedangkan tujuh kabupaten lain — Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya — masing-masing memperoleh sekitar Rp 221,2 miliar, dengan total keseluruhan Rp 1,55 triliun.
Secara keseluruhan, penerimaan negara dari PTFI tahun 2024 — termasuk pajak, royalti, dividen, dan pungutan lainnya — mencapai lebih dari 4,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 79 triliun, di mana kontribusi ke daerah disebut mencapai lebih dari Rp 11,5 triliun.
Selain itu, PTFI juga mengklaim telah menyalurkan investasi sosial senilai Rp 2 triliun pada 2024, dan akan menambah sekitar Rp 1,5 triliun per tahun hingga 2041 untuk program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
“Keberhasilan PTFI adalah ketika masyarakat di sekitar tambang meningkat kesejahteraannya. Kami percaya, tidak ada perusahaan yang berhasil di tengah masyarakat yang gagal,” tegas Tony.
Aktivis Lokal: “Uang Miliaran Itu Hilang, Rakyat Tetap Miskin”
Namun, aktivis lokal Maximus Tipagau menilai bahwa kenyataan di lapangan tidak seindah laporan resmi. Ia menyebut, hingga kini masyarakat adat di wilayah pegunungan dan dataran rendah Papua masih hidup dalam kondisi memprihatinkan, tanpa rumah layak, air bersih, atau akses pendidikan dan kesehatan yang memadai.
“Kita dengar kabar Freeport telah mentransfer dana Rp 4 triliun ke kas daerah. Tapi ke mana uang itu pergi? Uang itu seharusnya membangun rumah untuk mama-mama Papua, air bersih untuk anak-anak Kamoro, sekolah, kesehatan, jalan, dan listrik. Tapi kenyataannya, rakyat masih hidup dalam kegelapan dan penderitaan,” tegas Maximus.
Ia menggambarkan ironi yang menyakitkan — tanah yang diberkati dengan emas dan tembaga, namun pemilik tanah justru hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Publik melihat sendiri orang Papua masih minum air kotor, anak-anak belajar di bawah pohon, dan banyak keluarga tidur di rumah yang hampir roboh. Ini bukan hanya ketimpangan — ini ketidakadilan .
Tuntutan Keadilan dan Transparansi
Aktivis Papua, Yerry Basri Mak, SH, MH, juga menyerukan desakan kuat agar pemerintah pusat dan daerah membuka laporan keuangan dana Freeport secara transparan kepada publik, sesuai dengan undang - undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik
“Empat triliun bukan angka kecil. Itu harapan jutaan jiwa yang ingin hidup layak di tanahnya sendiri. Jika uang itu hilang tanpa jejak dan tanpa hasil, berarti ada yang memakan hak rakyat Papua,” ujarnya kepada wartawan.
Yerry menegaskan bahwa rakyat Papua tidak akan diam.
" Kami hanya ingin kejujuran. Kami ingin uang dari tanah kami benar-benar untuk kesejahteraan kami. Kami menuntut transparansi, laporan terbuka, dan pembangunan nyata di setiap kampung Papua,” tegasnya..
Ia juga mengingatkan pemerintah pusat agar tidak menutup mata terhadap jeritan rakyat.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan hanya kata dalam Pancasila — itu harus hidup dalam kenyataan. Papua bukan sekadar tambang, Papua adalah manusia. Dan manusia Papua berhak hidup dengan martabat,” tandas Yerry.
Catatan Redaksi
Kasus distribusi dana bagi hasil Freeport menyoroti jurang ketimpangan yang masih menganga di tanah kaya sumber daya alam. Sementara angka triliunan rupiah terus tercatat dalam laporan keuangan, transparansi pemanfaatan dan realisasi pembangunan di lapangan tetap menjadi tanda tanya besar.
Publik kini menanti komitmen nyata pemerintah daerah dan pusat untuk memastikan bahwa kekayaan Papua benar-benar kembali kepada rakyat Papua — bukan sekadar berhenti di neraca anggaran. ( Red.CN)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar