CNEWS, JOMBANG — Dalam sejarah panjang Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, terdapat nama besar yang tak selalu muncul di panggung utama, tetapi jejaknya abadi dalam setiap langkah perjuangan Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah KH. Syansuri Badawi (1918–2000) — seorang ulama sederhana, pengajar penuh kharisma, dan salah satu penggagas berdirinya perguruan bela diri Pagar Nusa, yang kini menjadi garda kehormatan dan identitas santri di seluruh Indonesia.
Sosok yang Tenang dan Penuh Cahaya
Setiap pagi, di tahun-tahun antara 1985 hingga 1991, para santri Tebuireng biasa melihat sosok tua bersarung dan berpeci berjalan perlahan di tepi kali kecil depan pesantren. Di tangan kirinya, sebuah kitab tebal usang selalu dibawa dengan penuh khidmat. Itulah KH. Syansuri Badawi, ulama yang menempati rumah sederhana di pinggir jalan, tak jauh dari kompleks utama pondok.
“Saya sering melihat beliau berjalan sendiri dengan tenang, membawa kitab. Beliau tidak pernah terburu-buru, wajahnya selalu teduh,” tutur seorang alumni Tebuireng, mengingat masa mudanya di tahun 1980-an.
Sikapnya yang kalem namun berwibawa menjadi teladan tersendiri. KH. Syansuri dikenal tidak banyak berbicara, tetapi setiap ucapannya sarat makna dan argumentasi keilmuan yang mendalam.
Guru Ngaji yang Dicintai Santri
Setiap kali mengajar di Masjid Tebuireng, suasana selalu hening dan penuh takzim. Para santri berebut duduk di barisan depan agar dapat melihat langsung wajah beliau saat menjelaskan kitab.
“Saya selalu duduk paling depan. Saat beliau selesai ngaji, saya langsung merebut tangan beliau untuk saya cium. Kadang saya juga seruput kopi hitam pahit bekas minum beliau — itu semacam berkah bagi kami,” kenang seorang muridnya yang kini menjadi penulis dan pemerhati sejarah pesantren.
Bagi KH. Syansuri, mengajar bukan sekadar menyampaikan ilmu, melainkan menanamkan adab dan jiwa keikhlasan. Ia mendidik dengan keteladanan, bukan dengan ketakutan.
Tebuireng 1985: Lahirnya Perguruan Pagar Nusa
Tahun 1985 menjadi salah satu bab penting dalam sejarah pesantren. Di bawah kepemimpinan para kiai sepuh, Tebuireng menjadi tuan rumah pertemuan bersejarah para ulama dan pendekar NU dari berbagai daerah. Dari sinilah lahir gagasan mendirikan perguruan bela diri di bawah naungan NU, yang kemudian dikenal sebagai Pagar Nusa (Pagarnusa: Pagar Nusa Nahdlatul Ulama).
KH. Syansuri Badawi menjadi salah satu arsitek utama konsep spiritual dan etik Pagar Nusa, bersama dua tokoh besar lain: KH. Suharbillah (Surabaya) dan KH. Abdullah Maksum Jauhari (Kediri).
“Saya masih ingat suasananya. Para kiai sepuh dan pendekar itu berkumpul di Tebuireng. Waktu itu saya baru selesai mandi di kali Cukir yang airnya hangat, karena dekat dengan pabrik gula. Tapi suasana pondok penuh semangat — mereka bicara tentang bela diri, tapi juga tentang martabat santri dan marwah pesantren,” kenang salah satu saksi muda kala itu.
Pagar Nusa lahir bukan semata untuk melatih fisik, tetapi menjadi wadah spiritual perjuangan santri NU, meneguhkan semangat “Bela Diri, Bela Agama, Bela Bangsa.”
Keteguhan Ilmu dan Kesederhanaan Hidup
KH. Syansuri dikenal memiliki keberanian intelektual luar biasa. Ia tak segan berbeda pandangan dari arus besar, selama didasari argumentasi keilmuan yang kuat. Namun di balik ketegasannya, ia menjalani hidup dengan kesahajaan.
Beliau tidak memiliki kemewahan apa pun — hanya rumah sederhana di pinggir jalan, tumpukan kitab, dan secangkir kopi hitam pahit yang menjadi teman setia di sela mengajar.
Salah seorang putrinya, Ibu Zahro, meneruskan semangat ayahnya dalam dunia pendidikan. Ia dikenal sebagai guru Biologi di SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng, sosok pendidik yang lembut dan sederhana, sebagaimana sang ayah.
“Keluarganya sangat rendah hati. Mereka hidup tenang, tidak suka menonjolkan diri, tapi punya dedikasi yang besar pada ilmu dan pesantren,” ujar seorang rekan pengajar.
Jejak Spirit dan Warisan Moral
Dua puluh lima tahun lebih setelah wafatnya, nama KH. Syansuri Badawi tetap disebut penuh hormat di kalangan NU dan Pagar Nusa. Ia bukan hanya perumus organisasi, tetapi penanam ruh spiritual dan moralitas dalam bela diri santri.
Kini, ribuan pendekar Pagar Nusa di seluruh Indonesia mengibarkan panji yang sama — berlatih silat bukan untuk gagah-gagahan, melainkan menjaga marwah ulama, pesantren, dan bangsa.
“Beliau sosok langka. Ilmunya dalam, hidupnya sederhana, dan keberaniannya luar biasa. Semoga Allah SWT merahmati beliau,” tutur salah satu muridnya sambil meneteskan air mata.
Warisan Abadi dari Tebuireng
KH. Syansuri Badawi mungkin tak lagi berjalan di tepi kali Cukir sambil membawa kitab, namun langkahnya telah berubah menjadi jejak sejarah dan sumber inspirasi abadi.
Dari sosoknya, kita belajar bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada fisik atau jabatan, tetapi pada keteguhan hati dan keikhlasan berjuang tanpa pamrih.
Warisan beliau kini hidup di setiap langkah santri, di setiap gerak jurus Pagar Nusa, dan di setiap doa yang dilantunkan di bawah kubah Masjid Tebuireng.
KH. Syansuri Badawi bukan hanya ulama. Ia adalah penjaga nurani dan benteng moral santri.
Dari kesederhanaannya, lahir kekuatan besar yang meneguhkan marwah Islam Nusantara.
(CNEWS | Jombang, 19 Oktober 2025)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar