CNEWS — Jakarta, 24 Oktober 2025| Tiga negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB — Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris — dikabarkan tengah memfinalisasi draf resolusi pembentukan International Stabilization Force (ISF) untuk Jalur Gaza, Palestina, sebagai langkah pascakonflik yang dinilai paling realistis setelah serangkaian gencatan senjata antara Hamas dan Israel Defense Forces (IDF).
Langkah ini disebut sebagai upaya mengisi “vakum keamanan” di Gaza sekaligus membuka jalan bagi pemulihan otoritas Palestina dan penarikan bertahap pasukan Israel.
Mandat dan Struktur ISF: Dari Keamanan ke Pemulihan
Menurut sejumlah sumber diplomatik yang dikutip Anadolu Agency dan The National, rancangan resolusi ISF mencakup mandat luas
.
- Menjaga stabilitas dan keamanan pascaperang di wilayah Gaza.
- Mencegah penyelundupan senjata lintas perbatasan menuju Mesir dan Israel.
- Mendukung penempatan kembali Pasukan Keamanan Palestina di Gaza.
- Menjamin distribusi bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi pascaperang.
ISF direncanakan beroperasi dengan mandat resmi dari DK PBB, namun tidak di bawah Bab VII Piagam PBB, sebagaimana dikehendaki oleh Israel dan Amerika Serikat — agar operasi militer tetap fleksibel dan tidak diartikan sebagai “intervensi paksa”.
Beberapa negara disebut telah menyatakan kesiapan berpartisipasi. Di antaranya Indonesia, Mesir, Turki, Azerbaijan, dan Pakistan, dengan kontribusi yang meliputi pasukan, logistik, serta dukungan teknis.
“Kami percaya mandat Dewan Keamanan akan memberikan legitimasi penuh dan membuka jalan bagi negara lain untuk bergabung,” ujar Pascal Confavreux, juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis.
Kepentingan dan Politik di Balik Resolusi
Inisiatif ini menempatkan Prancis dan Inggris sebagai motor diplomatik Eropa dalam upaya rekonstruksi Gaza, sementara Amerika Serikat memainkan peran sebagai penjamin politik Israel agar operasi stabilisasi tidak mengancam kontrol keamanan Tel Aviv.
Sebaliknya, negara-negara Muslim — termasuk Indonesia, Turki, dan Mesir — melihat ISF sebagai peluang memperkuat posisi politik mereka di dunia Arab dan menegaskan komitmen terhadap isu Palestina.
.
Namun, dinamika diplomatik tidak sederhana. Hubungan beku antara Israel dan Turki, serta sensitivitas politik dalam dunia Arab, membuat format kontribusi dan komando ISF masih menjadi bahan perdebatan keras di meja DK PBB.
Tantangan Hukum dan Persepsi Publik
Pengamat hubungan internasional menilai ISF hanya akan efektif jika memiliki mandat hukum yang jelas dan diterima semua pihak.
Tanpa itu, misi berisiko dianggap sebagai “pasukan tanpa legitimasi penuh” dan bisa ditolak oleh publik Palestina.
Selain itu, koordinasi lintas negara dengan sistem militer berbeda serta potensi tumpang-tindih otoritas antara ISF dan Israel dapat menimbulkan gesekan di lapangan.
.
“Tanpa kejelasan hukum dan keterlibatan penuh otoritas Palestina, pasukan stabilisasi bisa gagal sejak awal,” ujar Dr. Hadi Sutopo, pakar hidrologi dan kebijakan Timur Tengah dari IPB University.
Posisi Strategis Indonesia
Keterlibatan Indonesia dalam ISF — yang disebut siap mengirim hingga 20.000 personel — dinilai sebagai langkah berani dan berpotensi memperkuat reputasi internasionalnya sebagai negara penjaga perdamaian terbesar di Asia.
Namun, para analis memperingatkan bahwa partisipasi Indonesia juga membawa risiko diplomatik dan politik:
- Jika mandat ISF tidak transparan, Indonesia bisa dianggap mendukung “pengaturan keamanan buatan” yang tidak mewakili aspirasi rakyat Palestina.
- Jika misi ini gagal atau menimbulkan insiden, reputasi Indonesia di dunia Islam bisa terguncang.
Karena itu, keputusan Indonesia untuk bergabung akan sangat tergantung pada isi final resolusi DK PBB dan mekanisme komando yang dihasilkan.
Kesimpulan: Momentum Baru Diplomasi Global
Pembentukan International Stabilization Force (ISF) menandai babak baru dalam diplomasi global pascaperang Gaza.
Namun keberhasilan misi ini akan ditentukan oleh satu hal krusial: mandat dan legitimasi internasional yang kuat serta keterlibatan nyata rakyat Palestina.
Bagi Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya, ISF bukan hanya soal misi kemanusiaan — tetapi juga ujian geopolitik: apakah dunia Muslim dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang efektif dalam sistem keamanan global yang kini tengah berubah.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar