Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Eksklusif : 3 Bulan Ancaman yang Diabaikan — Drama Kelalaian Aparat di Balik Pembunuhan Dea Permata Karisma

Sabtu, 16 Agustus 2025 | Sabtu, Agustus 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-15T19:31:19Z

 


CNews, Purwakarta, Jawa Barat — Pembunuhan Dea Permata Karisma (27) oleh asisten rumah tangganya, Ade Mulyana (26), bukanlah peristiwa spontan. Tiga bulan sebelum kematian, korban sudah hidup dalam bayang-bayang teror — ancaman yang berulang kali disampaikan ke polisi, tetapi tak kunjung direspons serius. Kini, pertanyaan besar mencuat: Apakah nyawa Dea bisa diselamatkan jika aparat bergerak lebih cepat?


Babak Awal: Ancaman Fisik dan Pembobolan Rumah


Kepada wartawan, Sukarno — ayah korban — menuturkan bahwa Dea kerap mengeluhkan ancaman yang datang dari “seseorang” misterius. Salah satunya, pelaku masuk ke rumah tanpa izin, tertangkap basah oleh pembantu, lalu kabur. Dea bahkan sempat mengejarnya, namun pelaku menghilang.


“Sudah saya suruh lapor polisi, mulai dari Polsek sampai Polres. Tapi tidak ada polisi yang datang. Laporan itu seperti menguap,” tegas Sukarno.

 

Kelalaian ini menjadi titik krusial: korban sudah memberi sinyal bahaya, tetapi mekanisme perlindungan tidak bekerja.


Babak Kedua: Teror Digital dan Fitnah


Ancaman tidak berhenti di ranah fisik. Fery Riyana (38), suami korban, menjelaskan adanya pesan WhatsApp dari nomor asing yang menuduh istrinya berselingkuh dan mengintimidasi agar menjauhi seseorang bernama Fadel — teman kerja yang justru dibantu Dea mendapat pekerjaan.


“Pesannya jelas-jelas untuk memecah hubungan dan merusak nama baik istri saya,” ujar Fery.

 

Belakangan terungkap, rangkaian ancaman ini ternyata bagian dari rekayasa Ade Mulyana. Ia sengaja memunculkan “musuh bayangan” untuk mengalihkan kecurigaan dan memecah jaringan sosial korban.


Babak Ketiga: Motif Uang di Balik Rekayasa Teror


Motif Ade ternyata sederhana namun mematikan: persoalan gaji. Namun, yang membuat kasus ini lebih kompleks adalah caranya membangun narasi palsu untuk menutupi jejak. Dengan memadukan teror fisik, ancaman digital, dan fitnah, ia berupaya menciptakan ilusi bahwa korban diincar pihak ketiga.


Babak Akhir: Kematian yang Seharusnya Bisa Dicegah


Ade akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana. Namun, fakta bahwa korban sudah melapor berkali-kali sebelum dibunuh meninggalkan noda serius bagi institusi kepolisian setempat.


Pertanyaan yang belum terjawab:

  1. Mengapa laporan ancaman selama tiga bulan tidak memicu perlindungan terhadap korban?
  2. Adakah prosedur pengamanan yang diabaikan?
  3. Apakah ada unsur pembiaran atau kelalaian sistemik di balik kasus ini?

Catatan Publik

Bagi keluarga, kematian Dea bukan sekadar kehilangan, tetapi bukti nyata bahwa ancaman nyawa yang diabaikan sama mematikannya dengan peluru. Kasus ini menjadi preseden bahwa aparat wajib menindak ancaman secara preventif, bukan reaktif setelah korban tak bernyawa. ( Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update