Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Empat Pulau Masuk Sumut, Tito Tegaskan Keputusan Final: Wacana Kelola Bersama dengan Aceh Diapresiasi, Potensi Migas Jadi Tarik-Ulur Strategis

Selasa, 10 Juni 2025 | Selasa, Juni 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-10T16:47:39Z


CNews - JAKARTA - Sumut | Selasa, 10 Juni 2025 — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa penetapan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara sebagai wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara adalah keputusan final yang berbasis hukum. Keempat pulau yang dimaksud—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang—telah ditetapkan secara sah dalam Keputusan Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, mempertegas SK serupa yang telah diteken sejak 2022.


Namun di tengah penolakan sebagian kalangan di Aceh, Tito mendorong solusi damai melalui kerja sama lintas-provinsi, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam strategis seperti minyak dan gas bumi (migas) yang diperkirakan berada di kawasan tersebut.


"Dari sisi hukum administrasi, posisi empat pulau itu sudah ditetapkan masuk Sumatera Utara berdasarkan batas darat yang telah disepakati bersama oleh Pemprov Aceh dan Sumut serta kabupaten terkait sejak 2022. Tapi kalau dua gubernur mau kelola bersama, kenapa tidak?" kata Tito usai rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/6).


 

Final Secara Administratif, Terbuka Secara Politis


Menurut Tito, keputusan penetapan wilayah berbasis kesepakatan batas darat yang telah difinalisasi oleh empat pemerintahan daerah—termasuk Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah—telah menjadi dasar hukum yang valid. Pusat hanya mengulang ketetapan dalam dokumen tahun 2025 sebagai penguatan administratif, bukan perubahan.


“SK 2025 ini bukan hal baru. Itu hanya penguatan dari keputusan yang sudah sah sejak 2022. Kami di Kemendagri menjalankan fungsi fasilitasi, bukan intervensi,” ujarnya.

 

Meski begitu, Tito mendorong agar penyelesaian persoalan diteruskan dalam bingkai dialog, bukan konflik, termasuk membuka ruang pengelolaan bersama kawasan perbatasan yang menyimpan potensi ekonomi tinggi.


Kolaborasi Bobby-Mualem: Buka Jalan Baru di Perbatasan?


Sebelumnya, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) melakukan pertemuan di Banda Aceh pada Rabu (4/6). Kedua pihak sepakat untuk menanggapi keputusan pusat secara proporsional dan tidak memicu ketegangan horizontal, sembari membuka wacana pengelolaan bersama kawasan strategis itu.


“Kita tidak bicara menang-kalah. Ini soal bagaimana kita menyikapi keputusan administratif dengan kebijakan kolaboratif demi kepentingan masyarakat di kedua wilayah,” ujar Bobby.


Sementara Mualem, tokoh Aceh yang selama ini dikenal vokal dalam isu kedaerahan, dinilai menunjukkan sikap negarawan dengan membuka ruang kompromi, meski belum menyatakan posisi resminya terhadap isi SK Mendagri 2025.


Tarik Ulur Migas: Aspek Ekonomi di Balik Sengketa Wilayah


Keempat pulau tersebut diyakini berada di jalur perairan yang menyimpan cadangan migas potensial, menjadikan wilayah itu bukan sekadar soal peta, melainkan juga menyangkut kepentingan ekonomi strategis daerah. Hal inilah yang disinyalir memperkuat perhatian dua provinsi untuk tidak sekadar mempertahankan klaim, tapi juga merancang mekanisme pengelolaan bersama.


“Kami sangat terbuka mendukung inisiatif pengelolaan potensi migas lintas-provinsi. Kalau dikelola bersama dan adil, masyarakat akan diuntungkan dan gejolak bisa dicegah,” kata Tito.


Konflik Laten Bisa Diredam Lewat Jalur Kooperatif


Dalam catatan Kemendagri, selama masa jabatan Tito, lebih dari 300 sengketa batas wilayah telah diselesaikan melalui pendekatan dialog dan mediasi tanpa konflik sosial. Penekanan pada peran kepala daerah dalam membangun solusi damai menjadi prinsip yang dikedepankan.


“Kalau kepala daerah mau duduk bersama, saling menghormati, tanda tangan kesepakatan, selesai sudah. Ini bukan soal ego politik, tapi kepastian hukum dan kesejahteraan rakyat,” tegas Tito.


Catatan Kritis: Risiko Polarisasi Jika Tak Ditangani Serius


Meski wacana kolaborasi mulai dibangun, beberapa kelompok sipil di Aceh menyuarakan kekhawatiran bahwa penghilangan nama empat pulau dari peta Aceh bisa menjadi preseden buruk dalam konteks otonomi daerah dan keistimewaan Aceh pascareformasi.


Analis kebijakan dari Lembaga Studi Perbatasan Indonesia (LSPI) menyebut, jika tak ditangani secara transparan dan inklusif, potensi konflik horizontal, sentimen kedaerahan, bahkan tarik-ulur elite lokal bisa berkembang.


Penutup: Batas Bisa Disepakati, Kepentingan Rakyat Harus Dijaga


Pemerintah pusat menyatakan tak memiliki kepentingan politik selain memastikan kepastian hukum batas wilayah dan stabilitas sosial. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa kawasan perbatasan bukan hanya soal batas administratif, tapi juga terkait identitas, ekonomi, dan kontrol sumber daya alam.


Apakah kolaborasi dua gubernur cukup kuat untuk meredam gejolak dan membuka peluang baru? Waktu dan ketulusan politik akan menjadi penentu. ( Tim - Red) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update