Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Aceh Bergejolak: Ulama dan Rakyat Bangkit Pertahankan Empat Pulau Sengketa dari Keputusan Mendagri

Kamis, 12 Juni 2025 | Kamis, Juni 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-12T15:29:03Z



Sengketa Empat Pulau di Perbatasan Aceh-Sumut: Final di Atas Kertas, Membara di Lapangan



CNews  - Kamis ,12 Juni 2025 — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan keputusan penetapan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara adalah final dan berbasis hukum. Namun, dari tanah perbatasan, suara rakyat Aceh menggema menolak keputusan tersebut — menyebutnya sebagai bentuk penghinaan terhadap sejarah, hukum agraria, dan martabat bangsa Aceh.


Keempat pulau yang disengketakan — Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang — secara resmi masuk Sumut melalui Keputusan Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang disebut hanya sebagai "penguatan administratif" atas SK serupa tahun 2022.


Namun narasi hukum dari pusat belum mampu meredam bara yang kini menyala di akar rumput.


Tito Karnavian: “Keputusan Final, Tapi Kolaborasi Bisa Didorong”


Ditemui usai rapat di Istana Kepresidenan, Mendagri Tito menjelaskan bahwa keputusan ini berlandaskan kesepakatan batas darat yang ditandatangani oleh empat pemerintahan daerah, termasuk Pemkab Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, sejak 2022.


“Ini bukan keputusan sepihak. Keempat pulau itu berada dalam wilayah yang telah disepakati. Tapi jika dua gubernur sepakat kelola bersama, itu akan sangat baik,” kata Tito.


Ia menegaskan, Kemendagri tidak bertindak intervensif, melainkan fasilitatif — mempertegas legalitas batas wilayah untuk mencegah konflik administratif berkepanjangan.


Gelombang Penolakan: “Sejengkal Tanah Aceh Haram Dirampas”


Namun narasi pusat berbenturan dengan kenyataan di lapangan. 11 Juni 2025, Pulau Panjang menjadi titik api: ribuan warga, ulama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Singkil, tokoh adat, dan nelayan turun langsung — menyatakan penolakan total terhadap SK Mendagri.


Tengku Roesman Hasmy, Ketua MPU Aceh Singkil:


“Ini bukan sekadar administrasi. Ini soal kehormatan Aceh. Sejak kapan batas sejarah bisa diubah dengan tanda tangan tanpa musyawarah?”

 

Dari atas perahu, para ulama membaca sumpah, doa, dan mendeklarasikan “taujih perjuangan” — gerakan moral, spiritual, dan politik untuk mempertahankan hak atas pulau-pulau yang mereka sebut sebagai wilayah suci sejarah Aceh.


Tiga Pelanggaran Hukum dan Sejarah yang Diangkat Ulama

Para penolak menyampaikan tiga fondasi penolakan terhadap SK Mendagri:


  1. Kesepakatan Gubernur 1992 antara Raja Inal Siregar (Sumut) dan Ibrahim Hasan (Aceh) menyatakan batas laut tidak menyentuh empat pulau tersebut.
  2. Surat Agraria Aceh 1965, yang mencatat empat pulau itu sebagai bagian dari Aceh.
  3. Fakta historis-fisik, berupa nisan, situs ibadah, hingga struktur administratif kolonial yang mengindikasikan keterikatan wilayah dengan Aceh sejak masa Hindia Belanda.


Investigasi Redaksi: Cacat Formil dan Substansial


Dari penelusuran tim investigasi CNews, sejumlah kejanggalan administratif terungkap:


  • Tidak ditemukan proses konsultasi terbuka atau uji publik atas keputusan tersebut.
  • Naskah akademik dan peta revisi batas wilayah tidak pernah disosialisasikan.
  • Narasumber di Kementerian ATR/BPN menyebut tidak ada revisi resmi atas peta dasar agraria Aceh 1965 yang mencakup empat pulau tersebut.


Hal ini membuka dugaan bahwa keputusan Mendagri 2025 cacat prosedural dan substansial.


Gubernur Aceh-Sumut: Kolaborasi atau Kompromi?


Pertemuan Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) pada 4 Juni lalu membuka wacana “pengelolaan bersama” kawasan perbatasan.


Bobby menyebut pendekatan kolaboratif sebagai solusi pragmatis:


“Kita tidak bicara soal menang atau kalah. Kita bicara bagaimana rakyat bisa mendapatkan manfaat dari wilayah yang disengketakan.”

 

Namun, di mata publik Aceh, narasi kompromi ini dinilai belum menjawab pertanyaan utama: Apakah hak sejarah Aceh akan dihapus demi proyek migas bersama?


Perebutan Migas di Balik Peta?


Keempat pulau tersebut berada di jalur laut yang disinyalir menyimpan cadangan migas besar. Tak heran, isu perbatasan administratif berubah menjadi pertarungan kontrol ekonomi strategis.


Tito Karnavian secara terbuka menyebut potensi pengelolaan lintas-provinsi sebagai jalan damai:


“Kalau ada sumber migas, kenapa tidak dikelola bersama demi masyarakat?”

Namun pengamat dari Lembaga Studi Perbatasan Indonesia (LSPI) menyebut bahwa mengalihkan konflik sejarah menjadi kolaborasi ekonomi tanpa penyelesaian prinsipil bisa menjadi preseden buruk bagi otonomi dan keistimewaan daerah, khususnya Aceh.


Desakan Sipil: Judicial Review dan Pansus DPR


Gerakan sipil dan mahasiswa kini menuntut:

  • Judicial Review ke Mahkamah Agung atas SK Mendagri.
  • Pembentukan Pansus DPR RI untuk menyelidiki potensi pelanggaran prosedural.
  • Pelibatan Komnas HAM untuk mencegah konflik horizontal dan dugaan penghilangan hak adat.

Penutup: Di Atas Kertas Final, Di Hati Rakyat Belum Selesai


Empat pulau kecil itu mungkin hanya titik di peta nasional, namun di mata rakyat Aceh, ia adalah penanda identitas, sejarah, dan kedaulatan.


“Satu batu karang milik Aceh pun tak boleh dibarter,” tegas Tengku Roesman.

 

Pemerintah pusat mengklaim tak ada muatan politik. Tapi jika proses administrasi mengabaikan sejarah, adat, dan partisipasi publik, maka legitimasi hukum akan terus digugat.


Kolaborasi dua gubernur memang membuka ruang kompromi. Tapi hanya ketulusan politik, transparansi hukum, dan penghormatan terhadap sejarah yang bisa memastikan: bahwa konflik ini tak jadi bara yang tersisa di bawah permukaan. ( Tim - Red)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update