Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


Putusan MK Wajibkan Pendidikan Gratis di SD-SMP Negeri & Swasta: Negara Tak Boleh Lagi Abai!

Kamis, 29 Mei 2025 | Kamis, Mei 29, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-28T19:47:35Z


CNews - Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) mengukir sejarah baru dalam sistem pendidikan nasional. Dalam putusan penting yang dibacakan Selasa (27/5/2025), MK menyatakan bahwa negara, melalui pemerintah pusat dan daerah, wajib menjamin pendidikan dasar gratis tidak hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Keputusan ini menyentak kesadaran publik akan kesenjangan pendidikan yang selama ini berlangsung di depan mata.


Putusan ini merupakan hasil uji materi terhadap Pasal 34 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga ibu rumah tangga: Fathiyah, Noviana Rizkika, serta Riris Risma Anjiningrum.


Frasa Diskriminatif Dihapus: Pendidikan Dasar Gratis Harus Universal


MK menyatakan frasa "tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) selama ini hanya dimaknai berlaku di sekolah negeri. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebut hal ini menimbulkan diskriminasi dan ketimpangan akses pendidikan, terutama bagi anak-anak yang tidak tertampung di sekolah negeri karena keterbatasan daya tampung.


“Pendidikan dasar adalah hak konstitusional setiap warga negara. Negara tidak boleh membedakan perlakuan hanya karena status penyelenggara sekolah,” tegas Hakim Enny.

 

Statistik menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2023/2024, SD negeri hanya menampung sekitar 970 ribu siswa, sementara swasta 173 ribu. Untuk SMP, kapasitas negeri hanya 245 ribu siswa, sedangkan swasta menampung lebih dari 104 ribu siswa.


Tak Semua Sekolah Swasta Wajib Gratis, Tapi Negara Tak Bisa Lepas Tangan


Putusan MK memang menegaskan bahwa semua anak usia sekolah dasar harus dijamin pendidikannya tanpa hambatan ekonomi. Namun, MK juga menyadari kompleksitas realitas pendidikan swasta. Beberapa sekolah swasta tetap diperbolehkan memungut biaya, terutama yang memiliki kurikulum internasional, keagamaan khusus, atau sepenuhnya mandiri dari subsidi negara.


“Pilihan orang tua pada sekolah semacam ini biasanya bersifat preferensial, bukan karena keterpaksaan,” ujar Enny.

 

Namun, bagi sekolah swasta yang berada di wilayah minim sekolah negeri dan menerima bantuan negara, tidak diperkenankan memungut biaya tambahan dari siswa. Di sinilah peran pengawasan pemerintah menjadi krusial.


JPPI: Kemenangan Hak Asasi dan Tuntutan Integrasi

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut keputusan MK sebagai “kemenangan monumental” bagi hak atas pendidikan.


“Negara wajib hadir di seluruh ruang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. Ini momen revolusioner dalam konstitusionalisasi akses pendidikan,” ujarnya.

 

JPPI mendesak integrasi sekolah swasta ke dalam sistem penerimaan siswa baru (SPMB) berbasis daring yang dikelola pemerintah. Selain itu, mereka mendorong pengawasan ketat terhadap pungutan liar di sekolah-sekolah penerima dana BOS.


Pakar: Tanpa Skema Anggaran Jelas, Risiko Penyalahgunaan Mengintai


Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, menyoroti pentingnya seleksi kualitas sekolah swasta yang akan dibiayai negara. Ia menyebut program PPDB Bersama di DKI Jakarta sebagai contoh praktik baik.


“Sekolah yang layak dibiayai harus disaring berdasarkan akreditasi dan hasil Asesmen Nasional. Jangan sampai dana negara mengalir ke sekolah abal-abal,” ujarnya.

 

Ia memperingatkan potensi munculnya sekolah swasta baru tanpa kualitas yang hanya dibentuk untuk memanfaatkan dana pemerintah. Hal serupa disampaikan oleh Totok Amin Soefijanto dari Universitas Paramadina.


“Kalau tidak ada regulasi dan pengawasan ketat, sekolah abal-abal akan tumbuh seperti jamur,” ujar Totok.

 

Totok mengusulkan agar pembiayaan diarahkan pada sekolah swasta berkualitas melalui skema kemitraan berbasis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan mendesak penataan ulang anggaran pendidikan nasional.


Pemerintah Tunggu Salinan Resmi, Tapi Perlu Gerak Cepat


Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan pihaknya masih menunggu salinan lengkap putusan MK sebelum membahas teknis implementasi.


“Prinsipnya, negara memang wajib membiayai pendidikan dasar di sekolah negeri dan swasta, tapi pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan kemampuan fiskal,” ujarnya.

 

Wakil Menteri Atip Latipulhayat menilai putusan MK tidak menambahkan kewajiban baru, hanya menegaskan kembali bahwa tanggung jawab negara meliputi semua satuan pendidikan dasar. Namun keduanya sepakat, revisi UU Sisdiknas dan regulasi teknis baru harus segera dibuat.


Kesimpulan: Negara Tak Bisa Lagi Berlindung di Balik Status Sekolah


Putusan MK ini menjadi momen krusial: negara tak boleh lagi bersembunyi di balik alasan "swasta" untuk menghindari tanggung jawab terhadap pendidikan dasar. Dalam konteks kesenjangan daya tampung, kesulitan ekonomi keluarga, dan kualitas sekolah yang timpang, negara wajib hadir sebagai penyelenggara dan pengawas, tak peduli siapa yang mengelola sekolah.


Jika pemerintah gagal menerjemahkan putusan ini ke dalam kebijakan nyata dan terukur, maka risiko ketidakadilan dan penyalahgunaan akan tetap membayangi anak-anak Indonesia. Momentum telah datang. Kini, bola ada di tangan negara ( red) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update